“Tahun ini lebih tinggi 0,89 derajat Celcius dibandingkan rata-rata (periode tersebut)," kata Radjab.
“Kalau soal penyebabnya, banyak sekali faktornya, tidak hanya faktor iklim tetapi juga faktor lingkungan yang pasti berpengaruh.”
Memecahkan Rekor
Penelitian ilmiah yang ekstensif menemukan bahwa perubahan iklim menyebabkan gelombang panas menjadi lebih lama, lebih sering, dan lebih intens.
Berdasarkan pemantau iklim Uni Eropa, sejak Juni tahun lalu, setiap bulan merupakan periode terpanas yang pernah tercatat secara global.
Penduduk Asia Selatan dan Asia Tenggara dari Myanmar hingga Filipina menjadi korban suhu udara yang mencapai rekor tertinggi pada bulan lalu.
Lebih dari 100 rekor suhu tertinggi terjadi di Vietnam pada bulan April, sementara Bangladesh dan Myanmar juga mengalami rekor suhu tertinggi pada bulan tersebut.
Sebelumnya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan berdasarkan karakteristik dan indikator statistik pengamatan suhu yang dilakukan BMKG. Kata dia, fenomena cuaca panas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang panas.
"Memang betul, saat ini gelombang panas sedang melanda berbagai negara Asia, seperti Thailand dengan suhu maksimum mencapai 52°C. Kamboja, dengan suhu udara mencapai level tertinggi dalam 170 tahun terakhir, yaitu 43°C pada minggu ini. Namun, khusus di Indonesia yang terjadi bukanlah gelombang panas, melainkan suhu panas seperti pada umumnya," ungkap Dwikorita di Jakarta, Senin (6/5/2024).
Dwikorita mengatakan kondisi maritim di sekitar Indonesia dengan laut yang hangat dan topografi pegunungan mengakibatkan naiknya gerakan udara.
(dov/del)