Logo Bloomberg Technoz

Yield yang semakin tinggi berarti biaya utang (cost of fund) yang semakin mahal bagi pemerintah selaku penerbit obligasi. Semakin mahal biaya utang, semakin berat bagi APBN menanggung dan harus menerapkan efisiensi lebih ketat karena defisitnya dibatasi juga oleh Undang-Undang. 

Efeknya, stimulus perekonomian yang juga sangat mengandalkan APBN jadi tidak optimal. Tanpa stimulus yang memadai, perekonomian bisa semakin lemah.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. (Betty Laura Zapata/Bloomberg)

Bukan hanya tingkat bunga tinggi yang bisa memicu efek crowding out, keputusan BI menggelar SRBI sampai dua kali dalam sepekan dari tadinya seminggu sekali, bisa mendorong kurva imbal hasil menjadi terbalik (inverted curve) di mana tenor pendek menjadi lebih tinggi imbal hasilnya dibanding tenor panjang. "Likuiditas perbankan juga bisa semakin terkuras," kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Drewya Cinantyan dalam catatannya.

SRBI sering dianggap sebagai proxy BI rate. Tingkat SRBI yang terus melesat hingga ke level 7,5% itu juga membawa komplikasi lebih lanjut. "Dalam kebijakan moneter, bunga acuan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari suku bunga pasar sekunder seperti JIBOR [Jakarta Interbank Offered Rate/bunga pasar uang bank] dan SRBI. BI rate bisa kehilangan efektivitasnya dalam jangka panjang bila kesenjangan terhadap JIBOR melebar atau jika suku bunga pasar jauh lebih tinggi dibanding bunga acuan. Seharusnya, BI rate-lah yang mempengaruhi pasar, bukan sebaliknya," kata Satria.

BI rate bisa kehilangan efektivitasnya dalam jangka panjang bila kesenjangangan terhadap JIBOR melebar atau jika suku bunga pasar jauh lebih tinggi dibanding bunga acuan. Seharusnya, BI rate-lah yang mempengaruhi pasar, bukan sebaliknya

Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas

Bunga SRBI yang terus tinggi ketika BI rate sudah cukup tinggi pada akhirnya membatasi fleksibilitas kebijakan BI dalam jangka panjang. Itu karena bunga tinggi akan membebani neraca BI ke depan. 

Sementara bunga JIBOR, sejak BI rate naik, kini sudah di 6,9% untuk tenor 1 bulan, lalu 6,51% untuk 1 pekan dan 6,17% overnight. Sedang JIBOR 3 bulan ke atas ada di kisaran 7,17%-7,45%.

Melonjaknya bunga JIBOR akan berdampak pada kian mahalnya biaya dana perbankan dan pada akhirnya mempengaruhi tingkat bunga kredit pada nasabah.

Dalam media briefing yang dilangsungkan perdana kemarin, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, data-data yang ada saat ini memperlihatkan bahwa sudah tidak ada keperluan lagi untuk menaikkan BI Rate. "Dengan data yang sekarang, kami melihat kenaikan BI rate dan SRBI itu cukup untuk memastikan stabilitas nilai tukar dan inflow juga inflasi. Semuanya tetap data dependent, hasilnya tunggu nanti saat RDG [Rapat Dewan Gubernur] bulanan, sabar..," kata Perry.

Jawaban Perry itu keluar ketika ditanya oleh jurnalis terkait potensi perebutan likuiditas yang kian tajam dengan Kementerian Keuangan bila bunga SRBI terus melonjak tinggi dengan selisih makin lebar dengan BI rate. "Kami selalu berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan agar kebijakan Lapangan Banteng dan Thamrin selalu sejalan," kata Perry.

Sementara kekhawatiran akan crowding out bisa menjalar ke perbankan, Perry bilang kondisi likuiditas masih memadai dengan adanya tambahan insentif dari Kebijakan Likuiditas Makroprudensial ke perbankan senilai Rp115 triliun hingga akhir tahun ini. "Per 1 Juni ada tambahan likuiditas Rp81 triliun jadi sekitar Rp260 triliun," kata Perry.

Bunga tinggi SRBI memang menjadi kabar baik bagi para pemburu rente, termasuk investor asing. Sejak BI rate naik, asing telah menggaet sedikitnya Rp19,77 triliun dari lelang SRBI selama dua pekan bulan Mei, jauh lebih besar dibanding nilai net buy asing di instrumen SBN pemerintah sebanyak Rp8,1 triliun pada periode yang sama.

"Ini menunjukkan sekali lagi bahwa keputusan kita menaikkan BI rate dan SRBI meningkatkan confidence pasar maupun investor global sehingga menarik aliran modal asing," kata Perry.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani (Dok. Setpres RI)

Namun, perlu digarisbawahi, situasi keketatan likuiditas juga bisa berdampak jauh pada perekonomian yang semakin melambat. Yield yang semakin tinggi bisa membuat pembiayaan APBN semakin mahal. Target penerbitan SBN bisa dipangkas mengingat ada batas defisit yang harus dipatuhi. Pendek kata, keleluasaan fiskal bisa semakin terbatas.

Hal itu sudah diungkapkan oleh pemerintah. "Ini tentu dari Kementerian Keuangan untuk strategi pembiayaan dengan cost of fund yang cenderung mengalami kenaikan, dan nilai tukar kami akan terus melakukan pengelolaan secara hati-hati," kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Jumat pekan sebelumnya.

Bendahara Negara menyatakan akan terus membangun komunikasi dengan Bank Indonesia selaku pemegang kebijakan moneter untuk mempertahankan stabilitas makro di tengah dinamika global tanpa harus mengorbankan instrumen fiskal. "Tanpa harus mengorbankan stabilitas, momentum pertumbuhan dan kredibilitas dari instrumen fiskal maupun moneter," jelas Sri Mulyani. 

(rui)

No more pages