“Kita juga disiplin melakukan mark to market. Karena unrealized loss dari available for sale (AFS) portofolio surat berharga terhadap modal mencapai 15%. Sedangkan Bank Mandiri memiliki protokol tidak lebih dari 5%. Kalau ada paling 1% sampai 3% yang bisa kita kelola saat ini,” ujar Darmawan.
Meski demikian, Darmawan menyampaikan bahwa sektor perbankan menjadi sorotan dari investor global karena kasus SVB dan Credit Suisse. Dia berharap sorotan itu, tidak mengancam kapitalisasi pasar perbankan, kepemilikan asing di saham domestik maupun penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).
Pada kesempatan yang sama Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) mengatakan risiko reputasi menjadi yang utama dalam menjalankan usaha perbankan. "SVB dan Credit Suisse mengalami kesulitan likuiditas dan modal. Ini bisa memberikan sentimen negatif terhadap bank-bank di domestik," ujarnya.
Sunarso menjelaskan krisis perbankan yang terjadi akhir-akhir ini karena terhadi ketidakcocokan antara jangka waktu aset dan kewajiban (liabilitas). "Pentingnya mengelola maturity aset dan liabilities agar tidak menjadi mismatch. Ini menjadi pelajaran penting untuk kita, terutama risiko likuiditas," jelasnya.
Sunarso juga menegaskan ada bahaya bila bisnis bank terkonsentrasi dalam satu sektor seperti SVB yang fokus pada startup dan venture capital. Untuk itu, BRI selalu mendiversifikasi bisnis agar tidak terkena risiko ini."Makanya kita tak mau mengumpulkan portofolio di satu keranjang," jelasnya.
(roy/hps)