Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo meyakini cadangan devisa Indonesia akan kembali naik, ditopang oleh aliran dana asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia dan surplus neraca perdagangan yang tinggi.  

Sebelumnya, BI mengumumkan cadangan devisa Indonesia tergerus US$4,2 miliar dari semula US$140,4 miliar pada Maret 2024 menjadi US$136,2 miliar per April 2024. Hal ini digunakan salah satunya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global.

"Kami yakin cadev akan kembali naik. Dengan langkah kebijakan kemarin akan ada inflow, walaupun akan ada kenaikan permintaan dari korporasi karena dividen pada triwulan 2, itu biasa dan sudah kami perkirakan," papar Perry dalam Media Briefing bertajuk 'Perkembangan Ekonomi Terkini', Rabu (8/5/2024).

Dia menjelaskan cadangan devisa merupakan salah satu instrumen BI untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah. Cadangan devisa akan meningkat pada saat terjadi aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia, atau adanya surplus neraca perdagangan yang besar. Sebaliknya, cadangan devisa tentu saja akan menyusut jika terjadi aliran modal asing keluar atau dipakai untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.

"Tapi kami pastikan bahwa jumlah cadangan devisa akan lebih dari cukup," tegas Perry.

Cara memastikan kecukupan cadangan devisa Indonesia ialah dengan menjaga nilai cadangan devisa sesuai standar nasional, yakni lebih dari 3 bulan impor. Selain itu, lanjut Perry, nilai cadangan devisa juga harus sesuai dengan indikator yang diterbitkan lembaga internasional, yakni reserve adequacy ratio.

"Jadi tidak perlu gundah gulana atau insecure (dengan nilai cadangan devisa saat ini), memang wajarnya seperti itu. Memang kami kumpulkan untuk panen dan digunakan ketika terjadi outflow dan perlu stabilitas. Tapi kami pastikan stoknya jauh lebih dari cukup dari yang kita butuhkan," papar Perry. 

Berbagai kalangan mengkritisi proses pengambilan kebijakan moneter BI yang dianggap tidak efisien, yakni menggunakan cadangan devisa untuk melakukan intervensi nilai tukar rupiah, tetapi kemudian juga menaikkan BI Rate.

Menanggapi hal itu, Perry menjelaskan hal itu terjadi karena perkembangan perubahan arah suku bunga kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang sangat cepat. 

"Pada konferensi sebelumnya dibilang FFR (fed fund rate) akan turun pada semester II sebanyak 4 kali, lalu turun 3 kali, lalu dibilang hanya 1 kali, bahkan bisa tidak turun. Itu kenapa ketika membuat stabilitas rupiah lebih mengandalkan cadangan devisa," papar Perry.

Menurut dia, kebijakan moneter saat ini lebih seimbang, bank sentral tetap melakukan intervensi, tetapi tapi juga menaikkan BI Rate dan imbal hasil Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Dia mengklaim kedua amunisi itu efektif memperkuat rupiah.

(lav)

No more pages