“Jadi memang alokasi awalnya, [lahan yang akan digarap untuk ditanami tebu] 1 juta ha, tetapi dari 1 juta ha ini pun, berapa yang bisa ditanami tebu, itu masih dikaji,” ungkapnya.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yuliot sebelumnya mengatakan sebanyak 2 juta ha lahan tebu baru di Merauke ditargetkan menghasilkan 2 juta ton gula/tahun mulai 2027 untuk substitusi impor.
Yuliot menjelaskan pembukaan lahan baru tersebut nantinya akan menghadirkan investasi 5 pabrik gula (PG) baru. Namun, dia tidak mendetailkan siapa saja investor PG tersebut; apakah swasta atau badan usaha milik negara (BUMN).
“Kapasitas [produksi] 5 pabrik tersebut sekitar 2 juta gula/tahun. [...] Saat ini Indonesia impor gula sekitar 5 juta ton/tahun. Dengan adanya produksi gula di Merauke, pada 2027 akan bisa menjadi substitusi impor,” ujarnya kepada Bloomberg Technoz.
Pembukaan lahan 2 juta ha lahan tersebut sesuai dengan penugasan yang termaktub di dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
Kegagalan Masa Lalu
Di lain sisi, risiko kegagalan dari megaproyek swasembada gula dan bioetanol melalui pembukaan 2 juta ha lahan tebu di Merauke, Papua Selatan dinilai masih sangat rawan terjadi oleh pakar pangan.
Ekonom pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Eliza Mardian mengatakan risiko tersebut berkaca pada kegagalan program MIFEE pada 2010, akibat ketidaksesuaian pada aspek lahan.
"Potensi kegagalan ini bisa saja terjadi, berkaca dari proyek MIFEE yang gagal karena aspek lahan yang kurang sesuai. Pemerintah berencana membuka 2 juta ha untuk tebu di Merauke, tetapi berdasarkan hasil penelitian Lapan [Lembaga Penerbangan dan Antariksa], kesesuaian lahan untuk tebu di Merauke itu yang masuk kategori ‘sangat sesuai’ untuk tebu hanya 127.800 ha," kata Eliza.
Mengutip hasil penelitian Lapan, Eliza menyebut lahan di Merauke yang cukup sesuai untuk ditanami tebu hanya 398.000 ha, sedangkan luas lahan sesuai tetapi marginal atau membutuhkan modal yang tinggi dan campur tangan pemerintah maupun swasta mencapai 1,59 juta ha.
Dengan demikian, masih tersisa 11.870 ha lahan yang tidak sesuai untuk ditanami tebu.
"Artinya, yang cocok ditanami tebu dan hasilnya cukup baik ya hanya 25% dari yang akan dibuka oleh pemerintah. Akan ada lahan yang gagal ditanami tebu sehingga [berpotensi] beralih ditanami komoditas lainnya," jelasnya.
"Perlu waktu dan keberpihakan yang nyata dari pemerintah agar Indonesia bisa swasembada gula dan memiliki lahan tebu yang produktivitasnya lebih tinggi dari Thailand.”
Selain isu kesesuaian lahan, Eliza berpendapat rendahnya tingkat rendemen tebu di Tanah Air menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi gula nasional. Apabila masalah ini tidak segera dibenahi, Indonesia belum dapat membalikkan posisinya dari importir menjadi eksportir gula.
"Tingkat rendemen Indonesia hanya sekitar 7%, sedangkan Thailand 11,82%,” terang Eliza.
"Jika rendemen tebu 7%, artinya bahwa dari 100 kg tebu yang digiling di pabrik gula hanya akan menghasilkan gula sebanyak 7 kg. Nah Thailand rendemennya 11,82%, berarti menghasilkan gulanya kurang lebih 11,82 kg," jelas Eliza.
(wdh)