Eniya tidak menampik bahwa Indonesia memiliki rencana menambah bauran bioetanol hingga 20% pada 2025.
Hal tersebut mengacu kepada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 12/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
Namun, Eniya mengatakan peraturan tersebut belum bisa berjalan karena adanya kendala dalam harga dan cukai yang hingga saat ini masih diterapkan pada etanol, yang merupakan bahan baku bioetanol.
Adapun, cukai etanol termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 160/2023 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol.
Berdasarkan beleid tersebut, etanol tanpa golongan dalam kadar berapapun dikenakan cukai Rp20.000/liter untuk produksi dalam negeri dan luar negeri.
Namun, pada akhir pekan lalu, Eniya menyebut Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan telah membahas usulan penghapusan cukai untuk etanol, yang merupakan bahan baku bioetanol.
Eniya mengatakan, upaya peningkatan produksi bisa dilakukan dengan menciptakan ekosistem yang terdiri dari regulasi, kebijakan, pasokan bahan baku (feedstock), pengolahan dan permintaan (demand).
Perlu Investasi
Selain itu, Eniya mengatakan 9 industri yang belum mampu memproduksi bioetanol dengan fuel grade perlu melakukan investasi pada pabrik penyulingan (distillation plant).
Namun, Eniya tidak mengetahui dengan pasti jumlah investasi yang harus digelontorkan oleh 9 industri untuk mendongkrak kapasitas produksi fuel grade untuk memenuhi kebutuhan 2 juta kl/tahun.
Eniya juga belum mendapatkan informasi apakah sudah ada pabrik yang mulai melakukan investasi tersebut.
“[Sebanyak] 9 industri kalau masuk fuel grade ya harus investasi distillation plant. Kapasitas itu tergantung industrinya mau memaksimalkan atau tidak, kalau ada demand pasar ya pasti akan berusaha,” ujar Eniya.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengonfirmasi pemerintah tengah melakukan perhitungan untuk memberikan subsidi kepada bahan bakar bioetanol.
Dia tidak menjelaskan dengan gamblang apakah bioetanol bakal digunakan untuk mengganti bahan bakar minyak (BBM) Pertalite atau Pertamax. Luhut mengatakan peralihan dari Pertalite ke bioetanol menjadi target pemerintah untuk menyelesaikan masalah polusi udara.
“Nanti kita lihat dahulu [untuk pengganti Pertalite atau Pertamax]. Harus ke sana larinya [etanol dicampur dengan Pertalite]. Ya, tetap kita subsidi [BBM bioetanol], lagi kita hitung supaya targetnya yang kita subsidi adalah orang yang pantas disubsidi,” ujar Luhut saat ditemui di Jakarta Selatan, Jumat (3/5/2024).
Sekadar catatan, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebelumnya mengonfirmasi pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan memang bertujuan untuk menyiapkan bahan baku biofuel pengganti Pertalite atau Pertamax yang bakal mulai digunakan pada 2027.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot mengungkapkan pemerintah saat ini tengah melakukan persiapan lapangan, sehingga target produksi bahan baku tebu untuk bahan bakar berbasis bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa tercapai pada 2027.
“Penyediaan bioetanol yang berasal dari fermentasi tetes [tebu/molasses] digunakan untuk pengganti Pertamax atau Pertalite. [Bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa digunakan] sesuai dengan rencana produksi di Merauke pada 2027,” ujar Yuliot kepada Bloomberg Technoz.
Menurut Yuliot, pembentukan satgas ini juga bertujuan untuk menciptakan ketahanan pangan dan ketahanan energi. Selain itu, satgas juga difungsikan untuk menjaga sinkronisasi kebijakan, penyediaan bibit unggul, serta memfasilitasi perizinan dan investasi.
Pertamina pun mengonfirmasi keterlibatannya di Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan; sesuai dengan mandat Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/2024.
CEO PT Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) John Anis mengatakan perseroan bakal berperan dalam menyediakan etanol yang merupakan bahan baku dari bahan bakar bioetanol, yakni Pertamax Green.
Namun, John mengatakan, perseroan masih belum memastikan tingkat research octane number (RON) dari Pertamax Green yang diproduksi dari sumber daya di Merauke, yang nantinya bakal digunakan sebagai pengganti Pertalite atau Pertamax.
“Pemerintah mengharapkan ada bauran dengan etanol, etanol akan disuplai dari kami. Masih kita lihat [RON 95 atau 92] mana yang paling baik. Namun, yang jelas nanti akan dicampur, kita juga masih mikir, 10%, 15% atau 20%? Masih kita diskusikan,” ujar John saat ditemui di Jakarta Selatan, Selasa (30/4/2024).
(dov/wdh)