"Namun, kalau dalam hal produksi tidak ada solusi dan pengadaan impor terlambat dan berlarut, maka relaksasi harus diteruskan," pintanya.
Selalu Berulang
Di sisi lain, Roy berpandangan upaya pemerintah dalam menjamin ketersediaan bahan pangan, terlebih gula, masih dirasa kurang efektif.
Dia mengacu pada tahun-tahun sebelumnya di mana pemerintah kerap terlambat dalam pengadaan impor gula hingga membuat stok dalam negeri menipis. Belum lagi, pengadaan gula dari produksi nasional juga masih minim.
"Menurut kami, kalau pemerintah masih pakai pola seperti pemadam kebakaran, di situ ada masalah di situ repot. Sudah kurang stoknya, sudah mau habis tetapi pengadaan masih belum dilakukan, kita enggak akan pernah keluar dari permasalahan yang sama," tegasnya.
Sebagai informasi, pemerintah menaikkan HAP gula konsumsi menjadi sebesar Rp17.500/kg dari sebelumnya Rp16.000/kg.
Namun, bagi wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan wilayah 3 TP (Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan) HAP gula konsumsi ditetapkan sebesar Rp18.500/kg.
Kebijakan ini berlaku sementara mulai 5 April sampai dengan 31 Mei 2024. Penetapan kenaikan HAP gula ini juga telah melalui Rapat Koordinasi Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Gula Konsumsi lintas Kementerian/Kelembaga pada 4 April.
Kebijakan tersebut, menurut pemerintah, bertujuan untuk menjaga ketersediaan, stok, pasokan dan harga gula konsumsi khususnya di ritel modern dalam menghadapi Ramadan dan Idulfitri 2024, dan atau sebelum musim giling tebu dalam negeri.
Berdasarkan input kondisi harga gula yang wajar, harga gula konsumsi di tingkat ritel atau konsumen sebesar Rp17.500/kg. Harga gula konsumsi sebelum relaksasi HAP ditetapkan sebesar Rp16.000/kg dan di Indonesia timur dan wilayah 3 TP Rp17.000/kg. Selanjutnya akan dilakukan evaluasi secara berkala setelah 31 Mei 2024.
(prc/wdh)