Roy juga mempertanyakan, apabila ayat ini diberlakukan, lantas bagaimana dengan ketentuan pada pasar rakyat maupun pasar swalayan (supermarket) yang jaraknya tidak jauh dari kawasan yang telah ditetapkan bebas rokok oleh pemerintah.
"Kemudian, bagaimana yang sekarang sudah berjalan, sudah terjadi? Misalnya pasar rakyat yang memang berdekatan dengan tempat pendidikan, tempat-tempat ibadah. Apakah pasar rakyatnya yang mesti dipindahkan? Atau harus hilang perdagangannya di dalam pasar rakyat? Atau yang sudah ada supermarket gedungnya, apakah mesti digeser gedungnya?" ujarnya.
Apabila pemerintah memang ingin lebih mengaitkan peredaran rokok dengan isu kesehatan, menurut Roy, peringatan berupa gambar yang tercantum dalam bungkus rokok sudah lebih dari cukup. Untuk itu, dia mempertanyakan maksud dari ayat di dalam draf RPP tersebut.
"Apakah memang ingin mematikan usaha? Iya pertanyaannya kan sederhana. Itu karena kalau di sektor hulu berhenti, maka kami di sektor ritel juga enggak berdagang. Pada akhirnya juga konsumsi atau produktivitas itu turun, konsumsi rumah tangga turun," jelasnya.
Banyak Pelarangan
Ditemui pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi mengatakan RPP Kesehatan yang kini tengah digodok oleh pemerintah terlalu banyak melakukan pelarangan terhadap produsen rokok.
Menurut dia, rokok selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar kepada penerimaan negara melalui pungutan cukai. Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk menganulir dan atau mengkaji ulang penambahan ayat tersebut.
"Kalau kami pelaku usaha melihatnya, ini perlu dianulir, perlu diobservasi lagi, perlu dikaji ulang. Apapun, yang namanya pasal karet, akan mengakibatkan kesalahan implementasi di dalam penjualan rokok atau perdagangan rokok yang merupakan kontributor terbesar dalam pajak kita," ujar Benny.
Dia pun mengkhawatirkan apabila terlalu banyak praktik pelanggaran dalam perdagangan rokok akibat terlalu ketatnya peraturan, peredaran rokok ilegal justru bakal kian merajalela.
Dalam catatan Gaprindo, produksi rokok ilegal dalam negeri pada 2020 sudah di atas 15 miliar batang, sementara produksi rokok putih pada 2023 bahkan sudah berkurang hingga di bawah 10 miliar batang. Tak hanya itu, cukai rokok juga berkontribusi 10%—20% untuk pendapatan negara atau hampir Rp220 triliun.
(prc/wdh)