Kashkari mengatakan, ia akan memperkirakan antara dua hingga nol penurunan untuk tahun 2024 ketika para pejabat bertemu pada Juni, berdasarkan data inflasi yang masuk.
"Ketidakpastian mengenai di mana posisi netral saat ini menciptakan sebuah tantangan bagi para pembuat kebijakan," tambahnya.
Anthony Saglimbene dari Ameriprise menilai, kenaikan suku bunga dan inflasi yang tinggi, serta The Fed yang mempertahankan kebijakan moneter pada tingkat yang ketat lebih lama dari perkiraan pada awal tahun, menimbulkan beberapa risiko tambahan.
Dari sisi belahan bumi lainnya, investor juga mencermati ketegangan di Timur Tengah yang tensinya terus meningkat. Dengan militer Israel yang merayap ke kota Rafah di Gaza, kesepakatan gencatan senjata antara negara Yahudi dan Hamas masih sulit dipahami.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) dijadwalkan akan mengumumkan posisi Cadangan Devisa April pada Rabu (8/5/2024). Melihat tekanan yang dihadapi oleh rupiah selama April hingga ambles 2,55% menjebol level terlemah dalam 4 tahun hingga menyentuh Rp16.260/US$, nilai Cadev RI berpotensi terkuras jauh lebih besar ketimbang bulan sebelumnya yang sudah turun hingga US$3,6 miliar.
Respons BI menaikkan suku bunga acuan ke 6,25% pada 24 April kemarin, tidak serta merta membawa kembali rupiah ke bawah Rp16.000/US$. Sampai tutup dagang kemarin, rupiah masih melemah, ditutup Rp16.046/US$, melemah 0,13% dibanding hari sebelumnya.
Posisi Cadev pada Maret Maret sudah tergerus ke US$140,4 miliar. Bila prediksi itu tepat, maka selama April, penurunan Cadev akan ada di kisaran US$3,4 miliar hingga US$1,4 miliar, lebih rendah ketimbang Maret yang terkuras hingga US$3,6 miliar.
Alhasil, dalam empat bulan pertama tahun ini, ada potensi Cadev telah terkuras hingga mencapai US$9,4 miliar. Ini akan menjadi rekor periode penurunan terpanjang, empat bulan berturut-turut, setidaknya sejak pandemi Covid-19 ketika nilai Cadev anjlok sampai US$9,47 miliar dalam sebulan saja pada Maret 2020.
(fad)