Lebih lanjut, sektor konsumsi yang mengalami peningkatan pada Triwulan-I 2024 ini diantaranya belanja pemerintah dan belanja Lembaga Non-Profit Rumah Tangga (LNPRT), yang masing-masing tumbuh 19,9% dan 24,29%.
Meskipun kedua pos pengeluaran ini berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di kisaran 8%, ia menilai belanja pemerintah harusnya dapat berperan sebagai stimulus atau penggerak konsumsi rumah tangga.
Namun, ia menilai dengan besaran pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih lebih rendah dibandingkan capaian pertumbuhan secara nasional, maka belanja pemerintah yang meningkat karena pemilu dan Ramadan tak dapat mengkerek konsumsi rumah tangga.
“Jadi upaya pemerintah untuk melakukan stimulus ekonomi nampaknya belum berhasil karena konsumsi rumah tangga masih tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi. Artinya stimulus yang digelontorkan baik dari sisi produksi dan konsumsi belum terkena, belum bisa menggerakan ekonomi secara optimal,” ujarnya.
Selain itu, Peneliti ekonomi makro dan keuangan Indef Riza Annisa juga menuturkan hal yang serupa. Ia menyoroti daya beli masyarakat yang mulai terindikasi melambat, tercermin dari konsumsi rumah tangga yang tidak optimal saat adanya momen-momen penggerak konsumsi seperti bulan Ramadan, hingga pemilu.
Dalam hal ini, Riza berpandangan bahwa lapisan masyarakat kelas menengah menahan konsumsinya akibat beberapa faktor. Pertama, inflasi pangan yang masih tinggi meskipun sudah mulai menurun.
Selanjutnya, penurunan daya beli tersebut juga terindikasi dari pertumbuhan sektor transportasi yang mengalami perlambat, hingga menurunnya pendapatan pemerintah dari pos Pajak Pertambahan Nilai (PPn).
Seperti diketahui, penerimaan pajak pada kuartal I-2024 mencapai Rp393 triliun besaran terkoreksi 8,8% secara tahunan dan baru mencapai 19,8% dari target tahun ini.
“Mereka menahan konsumsinya apalagi di kelas menengah yang tidak mendapat bantalan sosial, kemudian disitu mereka adalah objek dari orang yang membayar semua tagihan, pajak, kemudian biaya pendidikan, mereka yang tak dapat bansos. Jadi mereka otomatis akan menahan konsumsinya,” ucap Riza.
Lebih lanjut, Heri juga menyoroti kinerja sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang harus tumbuh negatif 3,54% (yoy). Ia menilai, sektor usaha ini seharusnya bisa memanfaatkan potensi peningkatan permintaan dari sisi konsumsi, karena adanya momentum Pemilu dan puasa Ramadan.
“Sangat disayangkan karena gelontoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke sektor ini sangat besar tapi kinerjanya masih sangat jauh dari memuaskan. pertumbuhannya negatif,” ucap Heri.
Heri memahami memang terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan negatif pada sektor tersebut, diantaranya adalah faktor kemarau panjang dan faktor perubahan iklim yang membuat musim tanam bergeser sehingga membuat musim panen tertunda.
Namun, ia menilai pemerintah seharusnya dapat mengantisipasi lebih baik faktor-faktor yang menyebabkan mundurnya musim panen tersebut. Seperti mulai mendorong penerapan teknologi yang dapat mengatasi gejolak gangguan iklim.
“Dengan anggaran yang begitu besar harusnya bisa sektor pertanian ini mengadopsi teknologi yang bisa mengatasi perubahan iklim dan cuaca itu. Jadi harusnya kemarau panjang tidak selalu jadi alasan mengapa sektor pertanian terus negatif,” ucapnya.
(azr/lav)