Logo Bloomberg Technoz

Dia tidak menampik penyusunan regulasi kripto di tingkat kawasan bukanlah hal yang mudah, mengingat masih tingginya tingkat ketidakpercayaan regulator Asean terhadap mata uang digital yang diterbitkan swasta atau terdesentralisasi.

Investasi Aset Kripto di Indonesia (Dennis A Pratama/Bloomberg Technoz)

Untuk mengatasi persoalan dan tantangan industri kripto, lanjut Perry, bank-bank sentral di negara-negara Asean menggunakan tiga pendekatan. 

Pertama, bekerja sama dengan Financiaal Stability Board (FSB) dan Bank of International Settlements (BIS) untuk membangun standar supervisi, regulasi, dan implementasi industri kripto di Asean. 

“Kami harus bekerja bersama, karena regulasi dan supervisi industri kripto ini belum ada modelnya di seluruh dunia. Ini adalah hal baru di sektor keuangan, dan aset kripto ini tidak hanya berhubungan dengan perdagangan, tetapi juga institusi dan perlindungan konsumen,” ujarnya.

Kedua, mempercepat pengembangan dan penerbitan mata uang digital oleh bank sentral atau central bank digital currency (CBDC). 

“Penerbitan CBDC ini harus dipromosikan di seluruh Asean, karena ini mata uang digital yang diterbitkan sovereign sehingga dapat dikontrol. Di Indonesia, kami sudah menerbitkan consultative paper [soal CBDC] di bawah payung Projejct Garuda,” ujarnya.

CBDC atau “rupiah digital” oleh Bank Indonesia, lanjut Perry, akan menjadi satu-satunya nilai tukar digital resmi yang diterbitkan oleh regulator. 

Ketiga, membangun koordinasi untuk segera menyusun regulasi dan skema pengawasan kripto lintas batas negara di Asean. “Sistem pembayaran lintas batas tidak hanya menyangkut masalah teknis, tetapi juga bagaimana kita memitigasi dampaknya, termasuk dalam hal kripto,” ujarnya. 

Negara-negara Asia dan Oceania yang menerima kripto (Bloomberg)

Rekomendasi Kebijakan

Pada kesempaatan yang sama, Deputi Sekretaris Jenderal FSB Rupert Thorne mengatakan, pada Juli tahun lalu, instansinya mengusulkan beberapa rekomendasi pendekatan agar regulasi aset kripto dapat segera diimplementasikan antarnegara.

“Kita harus memiliki prinsip bahwa industri kripto itu memiliki ‘same activity, same risk, same business’. Artinya, harus ada keseragaman dan kesepahaman antarotoritas keuangan atau regulator tentang industri ini, termasuk risikonya,” ujar Thorne.

Dia menambahkan, belajar dari kegagalan FTX, regulasi kripto di seluruh dunia harus memuat aspek pagar pengamanan atau safeguard terhadap aset klien, konflik kepentingan, serta koordinasi lintas batas. 

“Selain itu, regulasi kripto harus memuat soal bagaimana menindak broker kripto yang malpraktik, ‘tokenisasi’ aset, serta pengawasan terhadap mata uang digital yang terdesentralisasi,” lanjutnya. 

Dia menegaskan, di tataran G-20, kelanjutan diskusi regulasi kripto diharapkan dapat dilakukan pada Oktober 2023 agar para anggota dapat segera memiliki standar yang setara dalam menghadapi perkembangan dan risiko aset kripto. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di sela seminar From ASEAN to the world : Payment System in Digital Era di Nusa Dua, Bali, Selasa (28/3/2023).

Sekadar catatan, untuk saat ini, sebanyak 19 dari anggota G-20 sedang menjajaki CBDC untuk penggunaan grosir (wholesales), ritel, maupun kombinasi keduanya. Sebanyak 16 di antara anggota G-20 telah mengembangkan mata uang digital atau memulai uji coba. Mereka termasuk Korea Selatan, Jepang, India, dan Rusia.

Di sisi lain, CBDC Bank Indonesia atau populer disebut “rupiah digital” akan dikembangkan dalam tiga tahap di bawah peta jalan bernama Project Garuda. Dua tahapan pertama adalah pengembangan CBDC untuk wholesales, sebelum akhirnya masuk ke ritel pada tahap ketiga. 

CBDC ritel ditetapkan di tahapan terakhir mengingat kompleksitas dan risiko transaksi sektor ritel dalam memengaruhi uang publik. Hingga kini, BI belum menetapkan target lini waktu spesifik untuk setiap tahapan CBDC. Alih-alih, pengembangan rupiah digital akan dilakukan sesuai dengan kesiapan industri.

Deputi Gubernur BI Doddy Budi Waluyo sebelumnya mengatakan negara-negara Asean sudah mulai ancang-ancang terhadap dampak mata uang digital terhadap ekonomi makro. Para regulator Asean sepakat bahwa mata uang digital pasti akan memengaruhi aliran modal dan membuat gejolak di pasar keuangan menjadi lebih cepat.

“Kalau bukan CBDC, bagaimana memonitornya? Kalau [kripto] volatilitasnya tinggi dan sulit dikontrol, pada akhirnya sulit untuk mengontrol bagaimana perdagangannya. Ujungnya bisa berimbas pada harga dan inflasi. Dampak ke ekonomi makro ini yang kita lihat sebagai tantangan,” ujarnya dalam media briefing jelang pertemuan AFMGM di Bali, Senin (27/3/2023) petang. 

Menurutnya, kekhawatiran regulator terhadap nilai tukar kripto tidak hanya terjadi di Asean, tetapi hampir seluruh dunia. Hingga saat ini, kata Doddy, tantangan terberat untuk mengimplementasikan regulasi kripto sebelum Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2025 adalah isu supervisi atau pengawasannya.

“Satu lagi yang paling sulit adalah data gap. Data [aset kripto] bisa kita peroleh atau tidak? Kalau data gap-nya muncul, apapun kebijakan yang akan kita ambil akan sia-sia. Oleh karena itu, kita sedang merumuskan data gap initiative. Negara-negara Asean harus memiliki pemahaman yang sama soal tantangan dan risiko kripto ini,” ujarnya. 

(wdh)

No more pages