Namun, sempat bertahan tinggi imbal hasil SBN serta potensi lonjakan terjadi lagi ke depan dengan masih tingginya ketidakpastian global, dampaknya bukan hanya pada para emiten obligasi swasta. Pemerintah yang bertindak sebagai issuer atau penerbit SBN juga menghadapi risiko yang sama.
Yield yang lebih tinggi berarti biaya dana (cost of fund) lebih besar harus ditanggung oleh pemerintah. Biaya utang jadi lebih besar karena pemerintah harus membayar bunga lebih tinggi pada para investor.
Ini yang terlihat dalam gelar lelang terakhir yang dilakukan pemerintah kemarin, Senin (6/5/2024). Dalam lelang sukuk negara (SBSN) kemarin, investor masih meminta imbal hasil tinggi meski sentimen di pasar sudah berubah.
Untuk tenor pendek PBS032, misalnya, investor meminta yield 6,8%-7,15%. Lebih tinggi dibanding lelang sebelumnya di kisaran 6,74%-7,12%. Pemerintah akhirnya pun memenangkan di kisaran yang masih tinggi yaitu 6,87% untuk yield rata-rata tertimbang dimenangkan, dibanding 6,90% untu seri yang sama pada lelang sebelumnya.
Hal serupa terjadi untuk lelang Surat Utang Negara (SUN) pada 30 April lalu di mana permintaan imbal hasil investor sempat menyentuh 8% untuk tenor panjang dan 7,5% untuk tenor 10 tahun. Yield tertinggi dimenangkan untuk tenor 5Y, FR0101, misalnya, ditetapkan di 7,19% dan seri FR0100 dimenangkan tertinggi di 7,28%.
Sebelum turbulensi terjadi, yield di seri yang sama hanya di kisaran 6,56%-6,70% dan dimenangkan tertinggi di 6,61%. Begitu juga seri favorit FR0101 dimenangkan tertinggi di 6,51%.
Kenaikan imbal hasil itu akan membuat beban utang pemerintah makin besar. "Ini tentu dari Kementerian Keuangan untuk strategi pembiayaan dengan cost of fund yang cenderung mengalami kenaikan, dan nilai tukar kami akan terus melakukan pengelolaan secara hati-hati," kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan, pekan lalu.
Bendahara Negara menyatakan akan terus membangun komunikasi dengan Bank Indonesia selaku pemegang kebijakan moneter untuk mempertahankan stabilitas makro di tengah dinamika global tanpa harus mengorbankan instrumen fiskal. "Tanpa harus mengorbankan stabilitas, momentum pertumbuhan dan kredibilitas dari instrumen fiskal maupun moneter," jelas Sri Mulyani.
Tahun ini, pemerintah menargetkan emisi baru (net issuance) SBN tahun ini sebesar Rp666 triliun. Bila menghitung nilai penerbitan SBN jatuh tempo (refinancing), diperkirakan total emisi surat utang RI tahun ini mencapai Rp1.200 triliun.
Sementara selama kuartal 1-2024, pemerintah telah menggaet utang melalui emisi SBN senilai Rp104,6 triliun, setara 16,1% dari target utang APBN terdiri atas penerbitan SBN neto Rp104 triliun dan Rp600 miliar pinjaman.
Total utang pemerintah per akhir Maret 2024 mencapai Rp8.262,1 triliun, turun dibanding akhir Februari yang masih sebesar Rp8.319,22 triliun. Namun dibandingkan Maret tahun lalu, posisi utang pemerintah RI naik 4,86%. Posisi akhir Maret 2024 membawa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto mencapai 38,8%.
Dari total utang itu, sebesar Rp7.274,95 triliun adalah utang dalam bentuk SBN terdiri atas SBN domestik Rp5.947,95 triliun dari SUN Rp4.797,16 triliun dan SBSN Rp1.150,79 triliun. Sementara global bond atau SBN Valas sebesar Rp1.388,92 triliun.
"Pemerintah terus menjaga agar strategi pembiayaan akan menjaga keseimbangan antara biaya dari funding atau cost of fund dan risiko dari utang," kata Sri Mulyani.
Tekanan Pelemahan Rupiah
Rupiah masih belum mampu bangkit meninggalkan zona Rp16.000/US$ meski BI rate sudah dikerek ke 6,25% oleh bank sentral. Defisit APBN juga bisa semakin lebar karena sensitivitas keuangan negara terhadap pergerakan nilai tukar.
Dalam penyusunan APBN, pemerintah memakai berbagai asumsi yang menjadi dasar perhitungan perkiraan nilai penerimaan dan belanja pemerintah. Asumsi yang digunakan di antaranya kurs dolar AS, harga minyak dunia, asumsi inflasi, hingga tingkat imbal hasil surat utang (SBN), dan lain-lain.
Untuk APBN 2024, pemerintah memakai asumsi kurs dolar AS di level Rp15.000. Dengan kini kurs dolar AS sudah semakin melemah mendekati Rp16.000, beban utang pemerintah bisa kian besar.
Setiap pelemahan nilai rupiah sebesar Rp100/US$, nilai pengeluaran pemerintah pusat bisa melonjak Rp10,1 triliun. Sementara kenaikan nilai pendapatan negara hanya bertambah Rp4 triliun. Dengan demikian, setiap pelemahan rupiah Rp100/US$, defisit APBN bertambah Rp6,2 triliun.
Bila berkaca pada pergerakan rupiah sepanjang tahun ini, rupiah spot telah melemah 4,07% dan JISDOR Bank Indonesia melemah 3,8% year-to-date. Pada penutupan pasar kemarin, kurs JISDOR BI ditutup di Rp16.025/US$.
Artinya, pergerakan rupiah tahun ini sudah lebih lemah Rp1.025/US$ dari asumsi di APBN 2024. Menghitung sensitivitas, maka defisit APBN telah bertambah hingga Rp63,35 triliun.
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
(rui/aji)