"Bulan Ramadan yang berlangsung pada triwulan I-2024 turut mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Kelompok yang tumbuh tinggi antara lain adalah transportasi dan komunikasi, yang tercermin dari pertumbuhan indeks perdagangan eceran dari suku cadang aksesoris, bahan bakar kendaraan, dan transportasi laut-udara," jelas Amalia Adininggar Widyasanti, Plt Kepala BPS.
Sektor lain yang juga tumbuh tinggi adalah restoran dan hotel. Tercermin dari tingkat hunian kamar hotel serta makanan-minuman selama Ramadan.
Sementara konsumsi pemerintah tumbuh 19,9% pada kuartal I-2024, didorong oleh belanja Pemilu 2024, bantuan sosial, dan kenaikan gaji/tunjangan pegawai negeri. Ini menjadi catatan tertinggi sejak 2006.
"Ini adalah yang tertinggi sejak 2006. Tercatat pada kuartal II-2006 itu tumbuh 28,77%, setelah itu tidak pernah tinggi lagi," sambung Amalia.
Sinyal Perlambatan
Pencapaian pertumbuhan ekonomi kuartal I-2024 yang moncer itu memang patut disyukuri. Namun bagaimanapun, itu adalah masa lalu. Sekarang saatnya menatap ke depan.
Apakah prestasi kuartal I-2024 bisa terulang lagi? Apakah rekor-rekor baru bisa terpecahkan?
Sepertinya sulit. Ke depan, faktor-faktor pendorong seperti Ramadan-Idul Fitri dan Pemilu sudah tidak ada lagi.
“Peristiwa-peristiwa tersebut hanya terjadi sekali dalam setahun. Jadi, dampaknya terhadap ekonomi hanya akan temporer. Kami memperkirakan daya beli masyarakat Indonesia mengarah ke pelemahan,” tegas Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.
Memasuki kuartal II-2024, sinyal perlambatan ekonomi sudah mulai terasa. Di sektor manufaktur, laju ekspansi melambat signifikan.
S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) berada di 52,9 pada April. PMI manufaktur Indonesia melambat dibandingkan Maret yang mencapai 54,2.
“Masih ada pertumbuhan produksi dan pemesanan baru pada April. Namun, laju ekspansinya lebih lambat ketimbang Maret,” sebut laporan S&P Global.
Dunia usaha menyebut permintaan barang meningkat, meski didominasi oleh pasar domestik. Ekspor membukukan penurunan pada April.
Dunia usaha masih hati-hati dalam melakukan rekrutmen. Bahkan dalam beberapa kasus memilih untuk melakukan PHK secara temporer. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja berkurang pada April, kali pertama sejak Oktober 2023.
“Ada hal-hal negatif dalam detil survei ini. Ekspor kembali turun, sementara pertumbuhan produksi dan pemesanan melambat signifikan. Perkembangan ini membuat dunia usaha memilih untuk mengurangi karyawan.
“Meski PHK hanya bersifat temporer, tetapi ini menjadi cerminan penurunan optimisme dunia usaha. Optimisme tersebut bahkan sampai menjadi yang terendah dalam hampir 4 tahun terakhir,” papar Paul Smith, Economics Director S&P Global Market Intelligence.
Sinyal perlambatan di sektor manufaktur patut diwaspadai. Sebab, manufaktur atau industri pengolahan adalah kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dari sisi lapangan usaha.
Hantu Bunga Tinggi
Prospek pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi jadi lebih suram saat Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu, Gubernur Perry dan kolega sepakat untuk mengerek BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25%.
"Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari kemungkinan memburuknya risiko global sebagai langkah preventif dan forward looking untuk memastikan inflasi di kisaran sasaran 2,5 plus minus 1% pada 2024 dan 2025," tegas Perry.
Mengutip riset berjudul Higher-for-Longer Interest Rate Environment is Squeezing More Borrowers karya Tobias Adrian dari Dana Moneter Internasional (IMF), inflasi yang masih tinggi membuat berbagai bank sentral harus mempertahankan suku bunga tetap tinggi. Akibatnya, kemampuan bayar debitur akan tertekan.
“Sinyal yang mengkhawatirkan adalah kemampuan individu dan korporasi untuk membayar pinjaman mereka. Pinjaman jadi semakin mahal, dan ini memang tujuan dari kebijakan moneter ketat yaitu meredam inflasi.
“Risikonya, peminjam yang sebelumnya sudah dalam kondisi tertekan akan kian tertekan. Hasilnya adalah peningkatan risiko gagal bayar (default),” papar riset tersebut.
Efek pandemi Covid-19 sedikit banyak masih dirasakan oleh dunia usaha dan rumah tangga, akibat pembatasan mobilitas. Mereka yang terdampak menggunakan dana tabungan atau cadangan untuk bertahan hidup.
Namun suku bunga tinggi membuat tabungan masyarakat dan dunia usaha tergerus dengan cepat. Akibatnya, laju ekspansi dunia usaha dan rumah tangga pun tertahan.
“Banyak rumah tangga yang sudah menggunakan dana tabungan mereka. Kelebihan tabungan (excess savings) di negara-negara maju yang sempat menyentuh puncaknya di 4-8% dari PDB turun dengan stabil. Ada pula sinyal gagal bayar di kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor,” ungkap riset tersebut.
Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), yang biasanya menjadi pinjaman terbesar di sektor rumah tangga, mengalami kenaikan suku bunga sehingga menggerus tabungan masyarakat.
Perkembangan ini membuat perbankan juga kian hati-hati dalam menyalurkan kredit. Survei di beberapa negara menunjukkan pertumbuhan kredit melambat, dengan risiko debitur menjadi alasan utama.
Hambatan bagi dunia usaha dan rumah tangga untuk berekspansi akibat suku bunga tinggi akan membebani prospek pertumbuhan ekonomi. Jadi ke depan, akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mengulangi pencapaian pertumbuhan ekonomi kuartal I-2024.
(aji)