Adapun yield untuk obligasi rupiah terbitan korporasi bertenor tiga tahun juga meluncur turun di level terendah sebulan terakhir pada posisi 6,93%. Surat utang domestik mendapatkan angin segar dari stance atau posisi kebijakan bank sentral yang menegaskan bahwa kenaikan bunga acuan BI7DRR tidak diperlukan lagi. Kebijakan itu tidak terlepas dari tekanan inflasi yang mulai terkendali melandai.
Obligasi korporasi domestik juga mendapatkan sokongan dari derasnya arus modal asing yang masuk ke pasar dalam negeri baik ke pasar surat utang maupun saham. Di pasar Surat Berharga Negara (SBN), pemodal asing mencatat net buy Rp 42 triliun sampai 21 Maret. Sampai 27 Maret lalu, kepemilikan investor nonresiden di SBN mencapai Rp 805,1 triliun setara dengan 14,7% dari total SBN di pasar sekunder.
Pasar obligasi di seluruh dunia memang tengah naik pamor menyusul ekspektasi pelaku pasar terhadap kebijakan The Federal Reserve, yang diperkirakan akan mengakhiri serial kenaikan bunga menyusul risiko resesi yang meningkat akibat guncangan di sektor perbankan. Ekspektasi itu mendorong para pemodal memburu surat utang yang dinilai sebagai instrumen lebih stabil dibandingkan instrumen investasi portofolio lain.
Indeks Kerapuhan
Bank investasi dunia kelas kakap Citigroup menilai, sinyal dovish yang dilempar oleh Fed setelah kenaikan bunga acuan 25 bps pada 22 Maret lalu, menjadikan aset surat utang di pasar negara berkembang Asia seperti Indonesia semakin menarik menjadi pilihan.
Negara-negara Asia seperti Korea, India dan Korea Selatan memperlihatkan tren disinflasi menjadikan ekspektasi kenaikan bunga acuan semakin kecil. Dalam kasus Indonesia, inflasi inti yang sudah di level target bank sentral, memberi alasan kuat bagi Bank Indonesia mempertahankan BI7DRR di level saat ini.
Bahkan BI dinilai memiliki ruang untuk memangkas bunga acuan sebelum tahun ini berakhir bila penguatan rupiah berlangsung lama ditambah inflasi yang melandai.
Pembalikan arah tren bunga acuan akan semakin menaikkan pamor pasar surat utang. Bunga yang rendah akan mengerek nilai/harga obligasi dan menekan yield.
“Fundamental ekonomi Indonesia relatif lebih baik dengan valuasi yang menarik dibandingkan dengan pasar negara berkembang lain, di mana itu mendorong aliran modal asing masuk ke pasar surat utang domestik di tengah penurunan yield US Treasury dan dolar AS,” jelas Handy Yunianto, Head of Fixed Income Research di Mandiri Sekuritas seperti diwartakan oleh Bloomberg News, Selasa (28/3/2023).
Dalam riset Mandiri Sekuritas, peringkat Indonesia di Indeks Kerapuhan (Vulnerability Index) berada di ranking terakhir di antara emerging market lain berdasarkan beberapa indikator. Mulai dari kebijakan bunga acuan bank sentral, inflasi, neraca transaksi berjalan, neraca fiskal, utang luar negeri, utang publik dan cadangan devisa.
Antrian Emisi Obligasi
Dalam rentang dua pekan ke depan, sudah ada sederat korporasi yang akan menerbitkan obligasi rupiah.
-
Permodalan Nasional Madani (PNM) menerbitkan sukuk senilai Rp 1,72 triliun pada 31 Maret - 3 April
-
PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOMF) merilis obligasi dalam dua tranches (cabang) senilai Rp 1 triliun pada 3-5 April
-
PT PP Tbk (Persero) atau PTPP menerbitkan obligasi dan sukuk Rp 1,1 triliun pada 29-31 Maret
-
PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) menerbitkan obligasi bertenor 5 tahun senilai Rp 500 miliar pada 27-30 Maret
Sisa tahun ini juga sudah banyak perusahaan Indonesia yang akan merilis obligasi di antaranya adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang merencanakan emisi green bond senilai Rp 5 triliun pada semester 1-2023. Lalu ada juga PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang akan menerbitkan obligasi senilai total Rp 2,5 triliun pada kuartal 3-2023.
- dengan bantuan laporan Grace Sihombing dan Hooyeon Kim dari Bloomberg News
(rui)