Muksalmina menyebut, kata mengusulkan organisasi desa bahasa hukumnya akan berbeda sehingga akan memberikan dampak yang berbeda pada pemerintah desa. Dia menilai, jika hal itu dilakukan pada pemerintah desa di Pulau Jawa tidak akan berpengaruh. Namun akan berbeda dengan pemerintah desa di luar Pulau Jawa. Semakin panjang proses birokrasi, maka akan mempersulit pemerintah desa.
“Semakin sedikit kewenangan desa, maka desa itu akan semakin susah sebenarnya untuk tetap berpatron kalau di dalam pembangunan itu pada RPJM dan RKPDes-nya karena akan banyak titipan-titipan program-program dari luar yang bentuknya itu bukan lagi sinkronisasi tetapi berpotensi intervensi,” ujar Muksalmina.
Bahkan, tambah dia, hal itu dapat memunculkan konflik kepentingan karena akan ada posisi tawar-menawar.
Kemudian, jika selama ini pengangkatan atau pemberhentian perangkat desa akan mengacu pada hukum yang berlaku di dalam pemerintah desa, seperti pelanggaran hukum akan diproses di PTUN.
“Artinya, itu head-to-head pemerintah desanya langsung kan berhadapan dia dengan proses hukum. Tapi kalau seperti ini [UU saat ini] dia jenjangnya ke atas lagi. Misalnya ada yang nggak setuju, dia akan proses di sana. Jadi, akan menambah proses itu,” ucap Muksalmina.
Dalam UU Desa No.3 Tahun 2024 Pasal 26 ayat 3 menyebut dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan "Kepala Desa" atau sebutan lain adalah pejabat pemerintah desa yang mempunyai wewenang, tugas, dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya dan melaksanakan tugas dari pemerintah dan pemerintah daerah.
(mfd/ain)