Logo Bloomberg Technoz

Dari total jumlah angkatan kerja di Indonesia, sebanyak 8,52% atau 12,11 juta orang berstatus setengah pengangguran, tertinggi dalam satu dekade. Jumlah setengah penganggur itu naik 1,61 poin persen dibanding Februari 2023 yang baru 6,91% atau sekitar 9,59 juta orang. 

Setengah penganggur di Indonesia merujuk pada kalangan yang bekerja di bawah ambang batas jam kerja normal, yaitu kurang dari 35 jam per minggu, dan sampai saat ini masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan. Sementara itu, seseorang sudah termasuk kategori bekerja bila ia melakukan kegiatan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan, paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu.

Publikasi terbaru yang dilansir oleh BPS juga menyebutkan, jumlah penduduk bekerja yang berkecimpung di sektor informal, proporsinya masih dominan sebesar 59,17% atau setara 84,13 juta orang, jauh lebih besar dibanding orang yang bekerja di sektor formal sejumlah 58,05 juta orang. Angkanya memang stabil dibanding Februari 2023 yakni 60,12% atau sebanyak 84,84 juta orang. Namun, meningkat dibanding Agustus lalu yang sebesar 82,66 juta orang.

Sebagai informasi, BPS melansir publikasi sektor ketenagakerjaan melalui hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tiap Februari dan Agustus setiap tahun.

Statistik itu memperlihatkan dominasi sektor informal masih menjadi penyerap terbesar penduduk bekerja di Indonesia. Menurut BPS, definisi pekerja di sektor formal adalah mereka yang berusaha/bekerja dengan dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan/pegawai.

Selain ciri itu itu, ia dimasukkan dalam kategori sektor informal yakni mereka yang bekerja berusaha sendiri (self-employed), berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar/keluarga, pekerja bebas dan pekerja keluarga/tidak dibayar. Di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk atau urbanisasi yang tinggi, ekonomi informal cenderung tumbuh untuk menyerap sebagian besar tenaga kerja.

Sempitnya lapangan kerja formal ditengarai memaksa banyak penduduk usia kerja yang termasuk angkatan kerja mencari pendapatan di sektor informal apakah itu memulai usaha sendiri dengan usaha minimal agar bisa tetap memiliki penghasilan. Mulai dari dengan menjual barang dari supplier (reseller) barang, membuka warung kelontong di perkampungan, jasa cuci baju dan lain sebagainya. 

Pekerja sektor informal yang jauh lebih besar bukanlah prestasi sebuah perekonomian. Makin besarnya sektor informal di sebuah negara bisa dibaca sebagai salah satu cerminan kegagalan penyelenggara negara mendorong dan menciptakan lapangan kerja formal yang memberi pekerjaan dan upah lebih layak. 

Itu karena sektor informal umumnya memberi upah lebih rendah, perlindungan pekerja yang minim dan tidak memberi kepastian karir jangka panjang dibanding sektor formal. Tingkat kesejahteraan yang lebih rendah dari sektor informal mempengaruhi prospek daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi ke depan, termasuk juga berimbas pada penerimaan pajak negara.

Di kawasan ASEAN, Indonesia termasuk negara dengan sektor informal terbesar. Sebagai perbandingan, pekerja sektor informal Malaysia sekitar 20% atau 3 jutaan orang. Sementara Thailand, persentasenya mencapai 50% dari total pekerja, bergerak di sektor informal, sedangkan Filipina sekitar 36%.

Sektor informal di Indonesia didominasi sektor UMKM. Sementara UMKM di Indonesia didominasi oleh segmen mikro. Data yang pernah dilansir Kementerian Koperasi dan UMKM, mencatat, dari sebanyak 64,2 juta pelaku UMKM, sebanyak 63,95 juta termasuk kategori usaha Mikro, atau setara 99,62%.

Sementara usaha Kecil sebanyak 193.959 unit (0,3%), lalu usaha Menengah 44.728 unit (0,07%) dan usaha Besar sebanyak 5.550 unit (0,01%).

Usaha Mikro dicirikan salah satunya dengan nilai modal atau aset masih di bawah Rp1 miliar dan omzet di bawah Rp2 miliar per tahun, serta jumlah tenaga kerja 1-4 orang saja. 

Gig Economy

Sektor informal juga memberi ilusi seakan kualitas lapangan kerja sudah cukup baik dan memadai menyerap tenaga kerja. Ini yang terlihat misalnya dari kemunculan pekerjaan-pekerjaan berbasis kemitraan, gig economy.

Gig economy, di mana para pekerja dibayar tidak berdasarkan waktu kerja melainkan berdasar jumlah barang atau layanan yang dikerjakan, seperti ojek online, kurir online, dan lain-lain. Riset yang pernah dipublikasikan oleh Universitas Gadjah Mada, menyebut, ada indikasi pekerja di model kemitraan itu semakin tereksploitasi dalam model kemitraan semu.

Para ojol dan kurir harus menyediakan modal kerja sendiri mulai dari kendaraan, bahan bakar motor hingga pengeluaran komunikasi, juga tanpa disertai perlindungan kesejahteraan yang lazim diberikan dalam sektor formal. Posisi penyedia platform menjadi dominan karena risiko bisnis lebih banyak ditanggung oleh pekerja termasuk perihal penyediaan sarana usaha.

"Dominasi tersebut dimungkinkan karena adanya ketergantungan pekerja terhadap pekerjaan dari platform, sebagai akibat dari sempitnya lapangan kerja layak, banyaknya surplus populasi relatif, dan pembiaran dari pemerintah terhadap praktik kemitraan semu," demikian dilansir oleh riset yang dipublikasikan oleh Institute of Governance and Public Affairs UGM, Desember lalu.

Dari hasil riset tersebut, terungkap bila pendapatan bersih para pekerja gig economy di kawasan Jabodetabek tak sampai 40% dari upah minimum provinsi. Minimnya pendapatan bersih karena tersedot oleh pengeluaran ongkos sarana kerja mulai sepeda motor, BBM hingga pengeluaran sarana komunikasi seperti internet dan pulsa agar tetap bisa menjaring pelanggan.

Padat Modal

Kelahiran Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang banyak diprotes kaum pekerja karena kian mengikis daya tawar pekerja di hadapan pemberi kerja, ditujukan untuk menarik lebih banyak investasi masuk yang diharapkan akan memantik pembukaan lapangan kerja lebih luas.

Namun, sejak dirilis pada 2020, dampaknya belum terlihat. Realisasi investasi yang mencapai Rp1.418,9 triliun pada 2023, tumbuh 17,5% dibanding 2022, hanya mampu memicu penambahan 1,8 juta lapangan kerja karena investasi yang masuk lebih banyak ke sektor teknologi yang padat modal, bukan padat karya.

Industri-industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja seperti industri tekstil atau alas kaki, makin banyak yang gulung tikar, sebagian karena penurunan daya beli domestik dan kelesuan pasar ekspor.

Produsen tekstil kenamaan Sritex, masih berjibaku dalam ancaman kebangkrutan. Terbaru adalah penutupan pabrik sepatu milik perusahaan sepatur ternama PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta.

Tanpa terobosan lebih serius memperluas lapangan kerja berkualitas yang bisa mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja, bonus demografi Indonesia di masa depan bisa menjadi 'bom waktu' pengangguran. 

-- update untuk perbandingan sektor informal kawasan ASEAN.

(rui/aji)

No more pages