Menyitir data Auriga Nusantara, terdapat setidaknya 9 perusahaan lain juga yang juga berasal dari China di IMIP, baik yang mengoperasikan pabrik pengolahan atau smelter maupun pembuatan baja nirkarat (stainless steel) dan juga bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Perusahaan itu a.l. PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry (GCNS); Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS); Tsingshan Steel Indonesia (TSI); Indonesia Ruipu Nickel and Chrome Alloy (IRNC); PT Dexin Steel Indonesia (DSI); Hengjaya Nickel Industry (HNI); Ranger Nickel Industry (RNI); Huayue Nickel & Cobalt (HYNC); PT Gunbuster Nickel Industry; dan Qing Mei Bang New Energy Materials Indonesia (QMB).
Dampak Trilateral
Di sisi lain, Iwa tidak menampik kerja sama trilateral antara AS, Filipina dan negara ketiga seperti Jepang, Korea Selatan atau Australia berpotensi memberikan dampak untuk mengurangi dominasi China, meskipun hal tersebut tentu memerlukan waktu.
Dengan berkurangnya dominasi China imbas kerja sama dengan Filipina tersebut, produksi nikel di Indonesia pun bisa terpengaruh.
“Produksi [Indonesia berpotensi] berkurang. Namun, tidak besar karena kebutuhan nikel masih besar,” ujar Iwa.
Selain itu, Iwa menilai kerja sama trilateral tersebut menguntungkan bagi industri hulu nikel. Dengan adanya pesaing yang kuat, kata Iwa, harga dan kualitaslah yang akan menentukan pemenang untuk mendominasi industri nikel di dunia.
Di tempat terpisah, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan tidak takut dengan rencana investasi penghiliran nikel AS di Filipina. Luhut menggarisbawahi Indonesia merupakan negara besar, di mana tidak ada negara yang bisa mendikte.
“Kenapa kita takut? Kita ini negara besar, ingat ya, Indonesia is a big country. Tidak ada yang bisa mendikte kita, kamu pegang itu,” ujar Luhut saat ditemui di Jakarta Selatan, Jumat (3/5/2024).
AS dan Filipina dikabarkan sedang berdiskusi mengenai cara-cara untuk mencegah China mendominasi industri pemrosesan nikel di kawasan Asia Tenggara, yang merupakan pemasok utama logam yang penting untuk baterai kendaraan listrik itu.
Salah satu langkah yang sedang dipertimbangkan adalah pengaturan trilateral di mana Filipina akan memasok bahan baku nikel, sedangkan AS akan menyediakan pembiayaan, dan negara ketiga seperti Jepang, Korea Selatan atau Australia akan menawarkan teknologi yang diperlukan untuk peleburan dan pemurnian (smelter), menurut sumber yang mengetahui rencana tersebut kepada Bloomberg.
Pembicaraan AS dengan Filipina masih dalam tahap awal, dan elemen-elemen penting dari setiap kesepakatan potensial masih harus diselesaikan, termasuk apakah AS dapat memenuhi pembiayaan, kata sumber yang tidak ingin disebutkan namanya itu.
Negosiasi AS-Filipina ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran di Washington atas posisi dominan China dalam pengolahan nikel di Indonesia, yang merupakan pemasok nomor wahid mineral logam penting tersebut.
(dov/wdh)