Isu Upah dan PHK
Pertengahan tahun lalu, Firman sempat mengatakan bahwa pelaku industri alas kaki di Tanah Air dihadapkan pada kenaikan upah pekerja di tengah menurunnya permintaan akibat perlambatan ekonomi global.
Dia menyebut peraturan upah minimum di Indonesia cukup memberatkan bagi pelaku industri padat karya, tidak terkecuali industri tekstil dan produk tekstil (TPT) subsektor alas kaki.
Penyesuaian nilai upah minimum kini dihitung dengan formula mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Sebelumnya, padahal, formulasi pengupahan hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi tergantung mana yang lebih besar.
“Karena Permenaker No. 18/2022 ini, daerah yang UMK [upah minimum kota/kabupaten]-nya sudah tinggi jadi makin tinggi. Kalau masih pakai aturan lama, mungkin tidak setinggi itu kenaikannya,” katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz, saat itu.
Aturan lama yang dimaksud Firman adalah turunan dari Undang-Undang (UU) No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.36/ 2021 tentang Pengupahan.
Selain itu, Firman menyebut kewajiban untuk menjalankan struktur dan skala upah sesuai Permenaker No. 7/2017 tentang Struktur dan Skala Upah juga memberatkan pelaku industri alas kaki. Struktur dan skala upah yang diatur dalam regulasi tersebut meliputi aspek golongan, masa kerja, jabatan, pendidikan, dan kompetensi dari tenaga kerja.
“Kalau yang kurang dari satu tahun, ya bisa pakai ketentuan UMK. Kalau yang sudah lebih dari itu ikut [ketentuan] struktur upah,” ujarnya.
Kondisi tersebut yang pada akhirnya memaksa pelaku industri alas kaki merumahkan pekerjanya atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Keputusan sulit itu mau tidak mau diambil lantaran permintaan dari negara-negara tujuan ekspor, khususnya Eropa dan Amerika Serikat (AS) anjlok hingga 40% sejak 2022.
“Perlambatan ekonomi global yang terjadi saat ini berpengaruh terhadap pola konsumsi masyarakat. Akhirnya terjadi overstock di gudang-gudang peritel, khususnya di Eropa dan AS. Permintaan pun berkurang,” tuturnya.
Firman menyebut pelaku industri alas kaki hanya bisa pasrah. Terlebih, sampai dengan saat ini belum ada tanda-tanda perlambatan ekonomi global akan segera berakhir.
“Belum masuk informasi order baru. Belum ada indikator yang menunjukkan pemulihan ekonomi global secara signifikan. Bank-bank di AS tutup, belum ada titik temu soal utang pemerintah AS. Masih banyak masalah,” keluhnya.
Berdasarkan catatan Aprisindo, perlambatan ekspor dialami oleh industri alas kaki sejak Juli 2022. Sejak Juli 2022 hingga April 2023, data ekspor perusahaan anggota Aprisindo hanya tumbuh dengan rerata rata 29%, padahal sebelumnya pertumbuhan ekspor mencapai 30%—45%.
Bata Tutup Pabrik
Terkait dengan keputusan PT Sepatu Bata Tbk menutup pabriknya di Purwakarta, Firman mengatakan saat ini bisnis Bata di Indonesia sebenarnya masih berjalan.
“Khususnya untuk yang bidang ritelnya. Selain produksi di Purwakarta, Bata juga masih memiliki skema bisnis berupa order makloon ke pabrik lokal Indonesia untuk brand mereka,” terang Firman.
“Penutupan Bata dikatakan karena ada masalah dengan order, sehingga berdampak pada defisit yang harus ditanggung perusahaan.”
Dalam keterbukaan informasinya akhir April, manajemen BATA mengumumkan keputusan penutupan pabrik di Purwakarta tersebut.
"Keputusan untuk menghentikan aktivitas Pabrik PT Sepatu Bata Tbk yang berada di Purwakarta," papar Sekretaris Perusahaan Bata Hatta Tutuko dalam pemberitahuan dari manajemen, dikutip Minggu (5/5/2024).
Manajemen menjelaskan diberhentikannya operasional pabrik sepatu Bata di Purwakarta yang dilakukan sejak 30 April 2024, merupakan bagian dari upaya perseroan selama 4 tahun terakhir untuk bertahan di tengah kerugian dan tantangan industri akibat pandemi serta perubahan perilaku konsumen yang begitu cepat.
Perseroan sudah tidak dapat melanjutkan produksi di pabrik Purwakarta karena permintaan pelanggan terhadap jenis produk yang dibuat di Pabrik Purwakarta terus menurun.
"[Tidak hanya itu], kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan yang bisa diperoleh secara berkelanjutan dari pemasok lokal di Indonesia," ujar Hatta.
"Dengan adanya keputusan ini, maka perseroan tidak dapat melanjutkan produksi di pabrik Purwakarta."
Melansir dalam laman situs jejaring resmi Bata, Tomas Bata sebagai salah satu pendiri Bata telah membangun pabrik Sepatu di tengah perkebunan karet di area Kalibata.
Nama alamatnya pun masih terpampang dalam laman situs jejaring resminya yang beralamat di Jl. Kalibata Raya, Jakarta Selatan. Selanjutnya produksi sepatu yang terjadi pada mulai 1940.
Sebagai salah satu pabrik terbesar di Indonesia, Bata memiliki spesialis produk sepatu injeksi untuk konsumsi dalam dan luar negeri. Saat ini Bata Indonesia menempati Gedung 6 lantai, yaitu kantor PT Sepatu Bata Tbk, di Cilandak, Jakarta Selatan.
Mengutip laporan keuangannya, sampai dengan kuartal III-2023, kerugian BATA mencapai Rp80,65 miliar alias membengkak 294,76% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Periode tersebut, penjualan perseroan hanya Rp488,47 miliar atau turun 0,42% secara year on year (yoy).
Setahun sebelumnya, pada 2022, BATA mencatatkan kerugian setahun sebanyak Rp105,92 miliar atau melonjak 106,85% yoy. Penjualan tahun tersebut, padahal, mencapai sekitar Rp643,45 miliar, tumbuh 46,74% yoy.
(wdh)