Secara garis besar, industri dagang-el halal dapat dipahami sebagai proses transaksi yang harus sesuai dengan prinsip Islam, mulai dari sistem pembayarannya, kebijakan pembayaran, rantai pasok logistiknya, hingga produk dan layanan pembeliannya.
Misalnya, prinsip keuangan Islam melarang pembebanan biaya bunga atau riba. Dengan demikian, instrumen keuangan seperti kartu kredit yang beroperasi model bisnis berbasis bunga tidak diperbolehkan di platform e-commerce halal.
Adapun, kartu debit, kartu prabayar dan solusi pembayaran dompet digital atau e-wallet secara umum masih bisa diterima. Contoh langsung lainnya adalah larangan penjualan daging babi dan alkohol oleh umat Islam.
Dengan demikian, platform dagang-el yang tidak memberlakukan solusi logistik yang memisahkan produk halal tersebut dari produklainnya di seluruh dunia mungkin dihindari oleh konsumen muslim.
“Kami mencatat, meskipun ada seperangkat kriteria umum yang paling Islami, lembaga sertifikasi dapat menyepakati apa yang dimaksud dengan sertifikasi produk halal atau proses bisnis halal, yang saat ini belum mencapai kesepakatan universal,” tulis BMI dalam laporannya.
Kompetisi di Indonesia
Indonesia sendiri, lanjut BMI, adalah negara dengan populasi musim terbesar di dunia dengan 87% penduduknya merupakan penganut Islam. Dengan demikian, pasar Indonesia merupakan pasar terbesar di dunia untuk produk halal.
“Hal ini telah meningkatkan bobot kriteria yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia [MUI]. Saat ini, Jaminan Produk Halal [JPH] Indonesia dan peraturan terkait seperti sertifikasi halal sedang dalam proses diperkenalkan secara bertahap selama periode 15 tahun yang pada akhirnya akan melihat berbagai produk dan jasa, khususnya makanan dan minuman, yang diimpor oleh Indonesia mengharuskan sertifikasi halal.”
Dengan demikian, pemasok atau eksportir di seluruh dunia harus mulai mematuhi kebijakan di Indonesia sebelum dapat mengakses pasar dalam negeri negara tersebut. Hal ini juga mendorong negara-negara muslim lainnya untuk menyelaraskan diri dengan persyaratan sertifikasi mereka dengan standar Indonesia.
Sementara itu, platform dagang-el lintas kawasan seperti Evermos di Indonesia dan IMarkplace di Pakistan masing-masing mendapatkan daya tarik pasarnya sendiri. Terlebih, perusahaan-perusahaan e-commerce multinasional besar juga mulai melirik potensi pasar dari segmen halal di kawasan Asia.
“Platform seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada —yang mendominasi segmen e-commerce Asia Tenggara secara keseluruhan— sudah memiliki skala ekonomi dan pangsa pasar halal yang besar. Mereka meluncurkan layanan dan promosi online khusus halal untuk menarik konsumen umat Islam konsumen,” kata BMI.
Shopee yang berbasis di Singapura, yang merupakan platform dagang-el terkemuka di seluruh Asia Tenggara, adalah salah satu contoh perusahaan yang mempunyai fokus ke basis konsumen muslim di pasarnya.
Perusahaan sering kali melakukan kemitraan dengan pemerintah di negara tujuannya untuk mengamankan kepercayaan pembeli muslim.
Pada April 2024, Shopee mengumumkan kesepakatan dengan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Indonesia yang mengizinkan Shopee mendaftarkan layanan sertifikasi halal untuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui fitur Shopee Barokah.
“Ini akan memungkinkan lebih banyak UMKM mendapatkan sertifikasi halal dengan lebih mudah dan langsung melalui pusat penjual Shopee," tulis BMI.
Beberapa bulan sebelumnya, Shopee juga menjalin kemitraan dengan Departemen Perdagangan dan Industri Filipina pada Januari 2024 untuk memasukkan penjual makanan halal ke dalam platformnya dengan membantu mereka dalam proses orientasi seperti mendaftarkan produk dan navigasi antarmuka pengguna.
Beberapa perkembangan mengenai platform e-commerce halal di Asia:
(wdh)