Eniya mengatakan pemerintah masih mengenakan etanol untuk bahan baku minuman serta obat.
Adapun, cukai etanol termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160 Tahun 2023 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol.
Berdasarkan beleid tersebut, etanol tanpa golongan dalam kadar berapapun dikenakan cukai Rp20.000/liter untuk produksi dalam negeri dan luar negeri.
Namun, Eniya menggarisbawahi penghapusan cukai etanol untuk bahan bakar memerlukan pengawasan ketat.
Kendati demikian, Eniya belum bisa menjelaskan potensi pengurangan biaya produksi untuk bahan bakar bioetanol.
Sebab, saat ini pemerintah masih melakukan pembahasan mengenai biaya pokok produksi (BPP).
Kapasitas Produksi Indonesia
Eniya mengatakan Indonesia sebenarnya sudah memiliki 11 industri yang memproduksi bioetanol, tetapi yang bergerak baru 2 industri dengan kapasitas produksi 30%.
“Kita sudah punya 11 industri yang memproduksi bioetanol, tetapi yang bergerak cuma 2, itu pun hanya 30% kapasitasnya. Kapasitas sekarang dari 2 perusahaan itu baru 400 ribu kiloliter,” ujar Eniya.
Pembahasan mengenai cukai etanol sebelumnya pernah disinggung oleh PT Pertamina (Persero). Perusahaan pelat merah itu meminta pemerintah menghapuskan cukai etanol yang akan digunakan sebagai bahan baku bauran bioetanol untuk bahan bakar minyak (BBM) ramah lingkungan, termasuk konversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengutarakan produksi bensin bauran bioetanol perseroan saat ini bukan ditujukan untuk mencari untung. Sebab, komoditas etanol masih dikenai cukai Rp20.000/liter lantaran dianggap sebagai produk alkohol.
“Jadi kami minta pembebasan cukai supaya kita bisa dorong karena manfaatnya sangat besar. Kita melihat dari sisi regulasi sebenarnya sudah ada. Mandatorinya itu dimulai dari 2015 dengan E2 [bauran etanol 2%], pada 2016 secara aturan harusnya naik jadi E5, lalu 2020 menjadi E10, dan secara gradual meningkat sampai 2025 itu E20," ujarnya saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Agustus.
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengonfirmasi pemerintah tengah melakukan perhitungan untuk memberikan subsidi kepada bahan bakar bioetanol.
Dia tidak menjelaskan dengan gamblang apakah bioetanol bakal digunakan untuk mengganti bahan bakar minyak (BBM) Pertalite atau Pertamax. Luhut mengatakan peralihan dari Pertalite ke bioetanol menjadi target pemerintah untuk menyelesaikan masalah polusi udara.
“Nanti kita lihat dulu [untuk pengganti Pertalite atau Pertamax]. Harus ke sana larinya [etanol dicampur dengan Pertalite]. Ya, tetap kita subsidi [BBM bioetanol], lagi kita hitung supaya targetnya yang kita subsidi adalah orang yang pantas disubsidi,” ujar Luhut saat ditemui di Jakarta Selatan, Jumat (3/5/2024).
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengonfirmasi pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan memang bertujuan untuk menyiapkan bahan baku biofuel pengganti Pertalite atau Pertamax yang bakal mulai digunakan pada 2027.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot mengungkapkan pemerintah saat ini tengah melakukan persiapan lapangan, sehingga target produksi bahan baku tebu untuk bahan bakar berbasis bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa tercapai pada 2027.
“Penyediaan bioetanol yang berasal dari fermentasi tetes [tebu/molasses] digunakan untuk pengganti Pertamax atau Pertalite. [Bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa digunakan] sesuai dengan rencana produksi di Merauke pada 2027,” ujar Yuliot kepada Bloomberg Technoz, Kamis (25/4/2024).
Pemerintah belum lama ini membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024.
(dov/ain)