Selain itu, Luhut menekankan bahwa Indonesia tidak lagi mengekspor bahan baku mentah, seperti bijih nikel (nickel ore).
Hal ini dilakukan agar Indonesia bisa merasakan nilai tambah dari hilirisasi nikel.
“Kita harus menikmati nilai tambahnya, masa kita hanya dikorek saja diekspor? kan tidak,” ujar Luhut.
Sebagai catatan, Presiden Joko Widodo mengeklaim ekspor produk hilir atau derivatif nikel telah mencapai lebih dari Rp500 triliun, seiring dengan maraknya investasi pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) untuk komoditas tersebut.
Membanggakan program hilirisasi industri yang diusungnya, Jokowi mengatakan beberapa proyek hilir dari sektor pertambangan yang sudah sukses, salah satunya adalah pembangunan smelter katoda tembaga single line terbesar dunia oleh PT Freeport Indonesia (PTFI).
“Saya berikan contoh lagi yang kedua, nikel. Dibangun industri smelter. Saat kita mengekspor mentah, bertahun-tahun ekspor mentahan nickel ore, nilainya setiap tahun ekspor kita itu kurang lebih Rp30-an triliun. Begitu smelter dibangun, ekspor kita mencapai Rp510 triliun,” ucapnya saat menghadiri Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) XX Tahun 2024 di Palembang, Jumat pekan lalu.
Dikutip dari Satu Data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor nikel –tidak termasuk derivatifnya – memang mengalami kenaikan sangat drastis dari 2018 hingga 2023. Kenaikan paling signifikan terjadi pada 2021, atau saat Indonesia mulai melarang ekspor nickel ore.
Namun, komoditas logam yang mencatatkan kinerja ekspor paling cemerlang salah satunya adalah besi dan baja. Dari hanya sekitar US$5,7 miliar pada 2018, ekspor komoditas ini melesat menjadi US$26,70 miliar pada tahun lalu.
Amerika Serikat (AS) dan Filipina sedang berdiskusi mengenai cara-cara untuk mencegah China mendominasi industri pemrosesan nikel di kawasan Asia Tenggara, yang merupakan pemasok utama logam yang penting untuk baterai kendaraan listrik itu.
Salah satu langkah yang sedang dipertimbangkan adalah pengaturan trilateral di mana Filipina akan memasok bahan baku nikel, sedangkan AS akan menyediakan pembiayaan, dan negara ketiga seperti Jepang, Korea Selatan atau Australia akan menawarkan teknologi yang diperlukan untuk peleburan dan pemurnian (smelter), menurut sumber yang mengetahui rencana tersebut.
Pembicaraan AS dengan Filipina-- produsen nikel tambang terbesar kedua di dunia setelah Indonesia-- masih dalam tahap awal, dan elemen-elemen penting dari setiap kesepakatan potensial masih harus diselesaikan, termasuk apakah AS dapat memenuhi pembiayaan, kata sumber yang tidak ingin disebutkan namanya itu.
Pemerintah Filipina tidak segera menanggapi permintaan komentar pada Rabu (1/5/2024), sehubungan dengan hari libur nasional di negara tersebut. Adapun, Juru bicara Gedung Putih juga tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Negosiasi AS-Filipina ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran di Washington atas posisi dominan China dalam pengolahan nikel di Indonesia, yang merupakan pemasok nomor wahid mineral logam penting tersebut.
(dov/ain)