"Kuartal II bisa lebih lambat karena efek Lebaran sudah bergeser [ke kuartal 1]. Pertumbuhan akan sangat bergantung pada investasi. Dengan sirnanya ketidakpastian politik, investasi diharap bisa tumbuh lebih baik pada kuartal II nanti," kata Chief Economist Bank Central Asia David Sumual.
Perlu ada stimulus lebih luas yang bisa membantu konsumsi masyarakat kembali bangkit. Dengan kini konsumsi domestik menjadi motor utama karena menyumbang 53% perekonomian, stimulus perlu diperluas tidak hanya menyasar kelompok miskin dan rentan melainkan juga ke kelas menengah, lebih dari 100 juta jiwa, yang menjadi tulang punggung ekonomi dengan sumbangan konsumsi mencapai 40%. Kelas menengah, terutama menengah bawah, saat ini semakin merasakan dampak kelesuan perekonomian.
Sinyal Pelemahan
Sinyal pelemahan konsumsi masyarakat di awal tahun ini sudah cukup banyak, mulai dari penurunan penjualan kendaraan bermotor apakah itu sepeda motor dan mobil, lalu anjloknya setoran pajak pertambahan nilai (PPN) juga pajak barang mewah (PPnBM), yang berbarengan juga dengan kelesuan pajak penghasilan badan usaha (PPH Badan).
Setoran PPN dan PPnBM turun 16,1% pada Maret menjadi Rp155,8 triliun. PPN neto dalam negeri yang berkontribusi dominan terhadap penerimaan pajak dengan porsi 22,1% pada kuartal 1-2024, turun 23,7% year-on-year. Sedang secara bruto, PPN dalam negeri pada kuartal 1 melambat signifikan hanya tumbuh 5,8% year-on-year dibanding 34,7% pada kuartal 1-2023.
Penerimaan PPH pada kuartal 1 bruto maupun neto mencatat penurunan masing-masing 21,5% dan 30%, membuat sumbangan lini pajak ini ke total penerimaan pajak kuartal 1 jadi hanya 14,5%.
Adapun penjualan mobil pada kuartal 1 lalu tergerus 23%, sedang sepeda motor penjualannya juga turun 4,87%, memberi indikasi lebih jauh tentang kekuatan konsumsi masyarakat yang tidak baik-baik saja.
Bahkan konsumsi masyarakat saat Lebaran tahun ini kelihatan tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Tingkat permintaan dalam perekonomian (daya beli), salah satunya terindikasi dari angka inflasi inti tercatat sebesar 1,83% year-on-year pada April 2024. Itu menjadi tingkat inflasi inti terendah sejak 2021, walau masih berada di kisaran target Bank Indonesia tahun ini.
Inflasi inti kerap dibaca sebagai salah satu ukuran daya beli masyarakat karena pergerakannya cenderung stabil atau persisten dan dipengaruhi faktor fundamental seperti interaksi permintaan-penawaran dalam ekonomi, nilai tukar, harga komoditas dan perkembangan ekonomi global dan ekspektasi inflasi ke depan.
Sedangkan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) saat Lebaran tahun ini juga mencatat tren yang sama akan tetapi itu karena teredam deflasi harga beras pertama kali sejak delapan bulan terakhir, sejurus dengan penambahan pasokan karena panen raya.
Penjualan ritel pada bulan ketika musim perayaan dimulai, yaitu pada Maret, diprediksi hanya tumbuh 3,5% year-on-year, melambat dibanding capaian Februari yang 6,4% berkat kenaikan belanja seputar Pemilu.
Daya beli masyarakat Indonesia menghadapi tantangan berat dihajar inflasi harga pangan, terutama beras dan komoditas dapur lain yang makin menjadi-jadi dibanding tahun lalu. Sebagai gambaran, dalam tiga bulan pertama tahun ini, berturut-turut inflasi volatile food tercatat di angka 7,42%, 8,47% dan 10,33%. Angka terakhir menjadi yang tertinggi sejak Juli 2022.
Ekspektasi Turun
Kenaikan BI rate demi mendukung kekuatan nilai tukar rupiah berpotensi membebani geliat dunia usaha. Pembiayaan ekspansi melalui kredit perbankan mungkin akan tertahan. Sinyal terbaru terlihat dari laporan kinerja manufaktur terakhir.
Laporan S&P Global yang dirilis kemarin mencatat, aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dengan angka Purchasing Manager's Index (PMI) pada April turun ke 52,9, dari posisi 54,2 pada Maret.
Masih di zona ekspansi akan tetapi melembat. Produksi masih tumbuh, begitu juga pemesanan baru akan tetapi lajunya melambat signifikan sehingga membawa optimisme dunia usaha ke level terendah dalam hampir empat tahun terakhir.
Secara umum, April menjadi periode positif bagi sektor manufaktur Indonesia. Dunia usaha tetap menambah pembelian bahan baku dan memupuk stok sebagai antisipasi kenaikan permintaan pada bulan-bulan mendatang. Namun, ada hal negatif di mana ekspor kembali turun sementara pertumbuhan produksi dan pemesanan melambat signifikan.
Perkembangan itu bisa membuat dunia usaha memilih efisiensi dengan mengurangi kebutuhan tenaga kerja. "Meski PHK hanya bersifat temporer, tetapi ini menjadi cerminan penurunan optimisme dunia usaha. Optimisme tersebut bahkan sampai menjadi yang terendah dalam hampir 4 tahun terakhir,” kata Paul Smith, Economics Director S&P Global Market Intelligence.
Data itu menjadi 'klop' dengan hasil survei konsumen terakhir yang lebih dulu rilis. Tingkat ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan terjatuh ke level terendah sejak November 2023.
Masih di level optimistis akan tetapi semakin melemah. Penurunan ekspektasi itu terutama akibat keyakinan yang semakin kecil terhadap ketersediaan lapangan kerja ke depan juga kondisi penghasilan. Kegiatan usaha juga diperkirakan semakin lesu enam bulan ke depan.
Kekhawatiran itu dirasakan merata oleh semua kelompok ekonomi. Masyarakat dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta mencatat penurunan Indeks Ekspektasi Konsumen terdalam hingga 6,2 bps karena kondisi penghasilan yang diprediksi semakin turun ditambah ketersediaan lapangan kerja yang dinilai masih sempit, juga kelesuan dunia usaha.
Penurunan ekspektasi terdalam juga dicatat oleh kelompok menengah dan atas. Masyarakat dengan pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta dan mereka yang memiliki pengeluaran di atas Rp5 juta per orang per bulan, anjlok ekspektasinya masing-masing 3,9 bps dan 4 bps.
Dengan gambaran yang cukup suram, kebijakan pemerintah melansir stimulus lebih besar ke perekonomian dengan strategi tepat, bisa menjadi 'game changer'. "Butuh [dukungan] fiskal lebih besar supaya dalam semua tantangan itu ekonomi bisa tumbuh. Stimulus fiskal jangan hanya ke konsumtif saja karena kickback akan kurang, lebih diarahkan ke sektor yang produktif," imbuh Enrico Tanuwidjaja, SVP Head of Economics & Research Bank UOB Indonesia.
(rui/aji)