Secara eksternal, lanjut dia, risiko yang perlu diwaspadai masih seputar risiko higher-for-longer dan perkembangan kondisi geopolitik Timur Tengah. Dari sisi regional, perkembangan ekonomi Tiongkok dan Jepang yang merupakan mitra dagang utama Indonesia juga dapat mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Menurut Josua, keputusan The Fed untuk menahan tingkat suku bunga memang sejalan dengan perkembangan kondisi ekonomi AS terkini, terutama karena proses disinflasi cenderung melambat dan tingkat inflasi masih jauh di atas target sasaran 2%. Keputusan the Fed tersebut juga sudah sejalan dengan ekspektasi pasar yang melihat the Fed akan menahan suku bunga kebijakan pada 5,25 – 5,50% atau pada level tertinggi sejak 2 dekade terakhir.
Pada pertemuan FOMC terakhir, dia mengatakan The Fed memberikan sinyal bahwa kemungkinan untuk menaikkan suku bunga hampir tidak ada, namun the Fed menegaskan kembali akan mempertahankan suku bunga pada level saat ini untuk waktu lebih lama dan hanya akan mengubah keputusannya berdasarkan perkembangan indikator ekonomi AS terkini.
"Jadi sikap the Fed akan cenderung lebih bersifat data dependent," tegas Josua.
Dia menilai ekonomi AS saat ini lebih solid dibanding yang diantisipasi pasar, meskipun level biaya utang cenderung tinggi. "Artinya ekonomi AS cukup resilient, terutama terlihat dari pasar tenaga kerjanya yang masih cenderung ketat."
Sektor manufaktur memang sudah menunjukkan sinyal perlambatan, namun sektor jasa masih cukup solid. Tentu kondisi tersebut menjadi cukup menarik bagi investor, di tambah dengan naiknya risiko higher-for-longer dan ketidakpastian kondisi geopolitik Timur Tengah, membuat aset safe haven, seperti dolar AS dan obligasi AS cukup diminati.
Dia memperkirakan kenaikan BI Rate memang menimbulkan pelebaran selisih positif dari imbal hasil (yield) obligasi, dan ini membuat aset instrumen keuangan Indonesia menjadi cukup menarik dan dapat menahan aliran modal keluar atau outflow.
"Namun dikarenakan risiko ketidakpastian global masih cukup tinggi, baik karena higher for longer maupun geopolitik Timur Tengah, membuat investor meminta risk premium yang lebih tinggi dari negara-negara berkembang yang cenderung lebih berisiko, termasuk Indonesia," tutur Josua.
Oleh karena itu, selain kenaikan BI rate, untuk menjaga real return, BI dan pemerintah harus segera dapat menurunkan risiko inflasi yang saat ini masih dalam tren meningkat.
Selain mempertahankan tingkat suku bunga kebijakan, The Fed juga memutuskan untuk melakukan pelonggaran Quantitative Tightening (QT) yang berujung pada terbatasnya penambahan suplai obligasi AS di pasar. Namun, pelonggaran QT akan berdampak pula pada pengurangan pasokan uang yang cenderung melambat, yang berujung pada melambatnya proses disinflasi di AS.
Dari sisi suplai obligasi AS memang akan menahan kenaikan imbal hasil dan penurunan harga, tetapi risiko inflasi yang tetap ada membuat pergerakan yield lebih sulit untuk turun.
"Kami melihat apetite investor terhadap obligasi AS saat ini lebih dipengaruhi arah kebijakan The Fed ke depan dan perkembangan geopolitik Timur Tengah," ucap Josua.
Sinyal hawkish terbatas the Fed dan mulai meredanya gejolak geopolitik Timur Tengah cukup memberi ruang bagi Indonesia untuk dapat mengundang aliran modal asing masuk ke pasar keuangan Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh masih kuatnya fundamental ekonomi Indonesia saat ini. Kebijakan ekonomi pemerintah dan BI yang terus menjaga dan memperkuat fundamental ekonomi dan stabilitas masih menjadi kunci untuk dapat membuat pasar keuangan Indonesia menjadi lebih menarik lagi.
(lav)