Akan tetapi, pemenuhan pembiayaan masih lebih banyak mengandalkan dana internal dari laba ditahan. Sementara pengajuan kredit pada perbankan dalam negeri tiga bulan ke depan, diperkirakan melambat dibanding bulan sebelumnya. Survei yang sama juga melaporkan, penyaluran kredit baru perbankan pada April diprediksi melambat dibanding Maret, terutama di bank umum untuk seluruh jenis kredit kecuali kredit konsumsi lainnya.
Optimisme Terendah 4 Tahun
Perekonomian Indonesia tahun ini diperkirakan masih akan menghadapi risiko-risiko pelemahan, sebagian besar karena rezim bunga tinggi global, lonjakan harga pangan yang mengerek inflasi, ditambah ketidakpastian dari dinamika geopolitik global.
Kombinasi itu berdampak luas pada daya beli dan inflasi masyarakat dan ekspansi dunia usaha.
Meski pada 2023, Indonesia masih mampu mencetak pertumbuhan 5,05%, melambat dibanding tahun sebelumnya, tantangan tahun ini diprediksi membawa pertumbuhan semakin kecil di bawah 5%. Laporan terakhir S&P Global yang dirilis hari ini, Kamis (2/5/2024), mencatat, aktivitas manufaktur Indonesia yang diukur dengan Purchasing Manager's Index (PMI) pada April turun ke 52,9, dari posisi 54,2 pada Maret lalu.
Masih di zona ekspansi akan tetapi mulai ada sinyal perlambatan. Produksi masih tumbuh, begitu juga pemesanan baru akan tetapi lajunya melambat signifikan sehingga membawa optimisme dunia usaha ke level terendah dalam hampir empat tahun terakhir.
"Secara umum, April menjadi periode positif bagi sektor manufaktur Indonesia. Dunia usaha tetap menambah pembelian bahan baku dan memupuk stok sebagai antisipasi kenaikan permintaan pada bulan-bulan mendatang. Namun, ada hal negatif di mana ekspor kembali turun sementara pertumbuhan produksi dan pemesanan melambat signifikan sehingga mendorong pengurangan tenaga kerja," jelas Paul Smith, Economics Director S&P Global Market Intelligence dalam publikasinya.
Spiral itu bisa semakin panjang dan berdampak pada pelemahan konsumsi masyarakat lebih lanjut setelah tahun lalu melambat dengan pertumbuhan hanya 4,82%.
Kejatuhan nilai tukar rupiah yang sampai menjebol level psikologis Rp16.000/US$, bisa menaikkan risiko imported inflation yang akhirnya berdampak pada inflasi barang dan jasa secara umum. Ujung-ujungnya, daya beli bisa semakin tertekan.
Stimulus Fiskal
Dengan kini kinerja ekspor diprediksi akan melanjutkan pelemahan akibat situasi global yang kurang mendukung, motor utama pertumbuhan RI kini adalah konsumsi rumah tangga dan investasi.
Konsumsi rumah tangga menyumbang Produk Domestik Bruto sebesar 53%, menjadi tumpuan pertumbuhan yang perlu dijaga ekspansinya. Namun, beberapa sinyal terbaru sejauh ini memperlihatkan, pelemahan kinerja konsumsi masyarakat berlanjut mengkhawatirkan.
Beberapa indikasi di antaranya adalah penurunan setoran dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) pada akhir Maret.
Setoran dua jenis pajak itu tercatat turun 16,1% dibanding Maret 2023 menjadi sebesar Rp155,79 triliun. Perinciannya, setoran PPN neto dalam negeri yang berkontribusi dominan terhadap penerimaan pajak dengan porsi 22,1% pada kuartal 1-2024, turun 23,7% year-on-year. Sedang secara bruto, PPN dalam negeri pada kuartal 1 melambat signifikan hanya tumbuh 5,8% year-on-year dibanding 34,7% pada kuartal 1-2023.
Masyarakat juga terlihat menahan konsumsi dengan memilih menabungkan tunjangan hari raya mereka pada Lebaran tahun ini. Indeks belanja individu pada Lebaran 2024, seperti hasil kajian ekonom BCA, tercatat semakin turun di angka 98, jauh lebih rendah dibanding tahun 2023 di 106, atau 2022 yang di 111 dan 2021 yang masih di 101. Indeks belanja yang turun itu bersamaan dengan penurunan indeks mutasi kredit individu.
"Masyarakat menerima THR tidak dibelanjakan semuanya, jadi ada yang disimpan dan banyak yang masuk ke instrumen investasi," kata David Sumual, Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BCA).
Perkembangan terakhir pola konsumsi rumah tangga di Indonesia di tengah rezim suku bunga tinggi yang diprediksi akan bertahan lebih lama dibanding ekspektasi awal, membutuhkan respon fiskal yang tepat agar bisa membawa laju pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
"Butuh [dukungan] fiskal lebih besar supaya dalam semua tantangan itu ekonomi bisa tumbuh. Stimulus fiskal jangan hanya ke konsumtif saja karena kickback akan kurang, lebih diarahkan ke sektor yang produktif," imbuh Enrico Tanuwidjaja, SVP Head of Economics & Research Bank UOB Indonesia.
Pelaku bisnis akan sangat menunggu kabinet di bawah pemerintahan baru hasil Pemilu 14 Februari untuk memperkirakan arah kebijakan fiskal ke depan yang akan berdampak luas pada prospek pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini di kisaran 4,7%-5,5%. "BI akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah, termasuk melalui stimulus fiskal Pemerintah dengan stimulus makroprudensial Bank Indonesia, guna mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, khususnya dari sisi permintaan domestik," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pengumuman hasil RDG April.
-- dengan bantuan Hidayat Setiaji dan Azura Yumna.
(rui)