"Artinya, yang cocok ditanami tebu dan hasilnya cukup baik ya hanya 25% dari yang akan dibuka oleh pemerintah. Akan ada lahan yang gagal ditanami tebu sehingga [berpotensi] beralih ditanami komoditas lainnya," jelasnya.
"Perlu waktu dan keberpihakan yang nyata dari pemerintah agar Indonesia bisa swasembada gula dan memiliki lahan tebu yang produktivitasnya lebih tinggi dari Thailand.”
Tingkat Rendemen
Selain isu kesesuaian lahan, Eliza berpendapat rendahnya tingkat rendemen tebu di Tanah Air menjadi salah satu penyebab rendahnya produksi gula nasional. Apabila masalah ini tidak segera dibenahi, Indonesia belum dapat membalikkan posisinya dari importir menjadi eksportir gula.
"Tingkat rendemen Indonesia hanya sekitar 7%, sedangkan Thailand 11,82%,” terang Eliza.
"Jika rendemen tebu 7%, artinya bahwa dari 100 kg tebu yang digiling di pabrik gula hanya akan menghasilkan gula sebanyak 7 kg. Nah Thailand rendemennya 11,82%, berarti menghasilkan gulanya kurang lebih 11,82 kg," jelas Eliza.
Mesin Tua
Rendahnya rendemen di dalam negeri menurutnya juga dipengaruhi faktor banyaknya pabrik gula (PG) yang mesinnya sudah tua, bahkan ada yang lebih dari 100 tahun usianya. Walhasil, hal ini dapat mempengaruhi tingkat produksi gula.
"Jadi memang perlu direvitalisasi jika ingin meningkatkan produksi gula. Tidak hanya meningkatkan produktivitas [lahan] tebu, tetapi juga meningkatkan tingkat rendemennya," sambungnya.
Untuk diketahui, dalam proyek pengembangan 2 juta ha lahan tebu di Merauke, Papua Selatan untuk percepatan swasembada gula dan bioetanol, pemerintah menggandeng Wilmar Group yang mendatangkan bibit dari perkebunan tebu mereka di Australia.
"Perusahaan Wilmar memiliki perkebunan tebu cukup besar di Australia yang bisa memproduksi tebu 520.000 ton per tahun untuk dipasok ke pabrik gula yang dimiliki oleh Wilmar sendiri. Semoga saja bibit yang didatangkan sudah sesuai dengan kondisi lahan di Indonesia."
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot juga telah mengkonfirmasi bahwa PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN) atau Sugar Co dan Wilmar Group bakal bergabung ke dalam proyek ini.
Yuliot menyebut proyek Merauke melibatkan 5 konsorsium untuk mengembangkan 5 pabrik gula, lahan pabrik gula, sekaligus produksi bioetanol, kebun, dan pembangkit listrik dengan kapasitas 120 megawatt (MW).
Dia sebelumnya juga mengatakan kepada Bloomberg Technoz bahwa total nilai investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan 2 juta ha lahan tebu di Merauke, Papua Selatan hampir mencapai US$8 miliar atau setara Rp130 triliun (asumsi kurs Rp16.252,15).
Yuliot mengatakan dalam pengembangannya 2 juta ha lahan tersebut akan terbagi menjadi 4 klaster, di mana klaster 3 bakal dikembangkan lebih dahulu. Adapun, produksi gula yang dibidik untuk tahap awal adalah 2 juta ton/tahun mulai 2027, untuk substitusi impor.
Untuk tahap pertama, BKPM menyebut pemerintah sudah mendatangkan sekitar 2 juta bibit tebu dari Australia. Bibit tersebut pun diklaim cocok dengan kondisi tanah di Merauke.
"Untuk bibit, diharapkan tingkat rendemen [tebu]-nya 12%—13%, dengan pengembangan bibit dalam negeri dan impor yang merupakan kerja sama dengan Sugar Research Australia," terang Yuliot.
Sekadar catatan, pembukaan lahan 2 juta ha lahan tersebut sesuai dengan penugasan yang termaktub di dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 15/2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan.
(wdh)