Logo Bloomberg Technoz

Konsep ekonomi keberlanjutan (sustainable economy) yang diusung MEA pada 2015 pun telah mengalami pergeseran dari kondisi saat ini. Pada waktu itu, kata Doddy, konteks ‘keberlanjutan’ hanya mengacu pada upaya memastikan pertumbuhan ekonomi meningkat tiap tahunnya. Namun, saat ini, konteks keberlanjutan dalam MEA lebih menekankan pada isu-isu ekonomi hijau. 

Seluruh anggota Asean harus punya kesamaan, misalnya soal mengatasi nilai tukar dan volatilitas aliran modal.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doddy Budi Waluyo

Pergeseran lainnya dalam implementasi MEA adalah, sebelumnya pada 2015, bank-bank sentral Asean belum berpikir mengenai isu digitalisasi sektor keuangan. Untuk itu, dalam dua tahun ke depan, Indonesia berambisi agar digitalisasi sektor finansial dapat terealisasi sepenuhnya di Asia Tenggara. 

“Misalnya dalam hal interkoneksi perbankan. Kalau dahulu, kita berpikir bagaimana bank-bank Indonesia bisa buka [cabang] di luar negeri. Namun, sekarang konteksnya bukan lagi physical interconnection, tetapi digital interconnection,” tuturnya. 

Tiga Pergeseran Sektor Keuangan MEA 2025

Doddy melanjutkan bahwa keketuaan Indonesia dalam KTT Asean 2023 akan difokuskan untuk menyamakan visi anggota Asean dalam merealisasikan MEA pada 2025, dengan sejumlah pergeseran baru di sektor finansial yang mencakup tiga aspek.

Pertama, pemulihan dan pembangunan ulang (recovery and rebuilding) dari masalah tekanan inflasi serta dampak kebijakan moneter ketat di hampir seluruh bank sentral negara maju.  

“Seluruh anggota Asean harus punya kesamaan, misalnya soal mengatasi nilai tukar dan volatilitas aliran modal. Dalam hal ini, kita tidak bisa lagi hanya mengandalkan kebijakan moneter konvensional—seperti instrumen suku bunga dan likuiditas—tetapi harus kebijakan bauran antara fiskal dan moneter. Sebab, dinamika masalah [sektor keuangan] di Asean sudah meluas, tidak sekadar perbankan, tetapi juga ekonomi politik,” terangnya.

Tren Suku Bunga Global (Sumber: Kemenkeu)

Doddy menyebut, strategi bauran kebijakan (policy mix) sejauh ini sudah diterapkan oleh Indonesia, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Saat MEA diterapkan pada 2025, negara anggota Asean lainnya diharapkan dapat mengikuti strategi tersebut. 

Kedua, pengurangan ketergantungan Asean terhadap mata uang utama seperti dolar Amerika Serikat (AS). Dependensi yang tinggi terhadap mata uang utama membuat negara-negara Asean rentan terjerumus ke jurang krisis jika sewaktu-waktu negara pemilik mata uang tersebut bergejolak. 

“Kalau kita bisa mengurangi ketergantungan terhadap mata uang global, dampak gejolak ekonomi dunia terhadap kawasan pun akan berkurang. Maka pakailah mata uang lokal. Kita sudah punya local currency settlement [LCS] untuk investasi, perdagangan, dan jasa. Lalu, kita akan pakai digital payment system untuk transaksi ritel,” ujar Doddy.

Analisis teknikal USD/IDR, rupiah masih berpeluang melanjutkan penguatan ke level Rp 15.140 per dolar AS (Bloomberg Technoz)

Ketiga, kesepahamaan tentang regulasi kripto sebagai mata uang digital. Menurut Doddy, negara-negara Asean sepakat bahwa kripto memiliki banyak manfaat di sektor keuangan Asia Tenggara. Namun, hal yang lebih penting adalah mengatasi risiko dari mata uang digital yang tidak diterbitkan oleh negara. 

“Bagaimana jika ada ketidakpercayaan? Siapa yang akan takeover? Sebab, [kripto] ini kan mata uang digital [yang diterbitkan] swasta, bukan sovereign. Oleh karena itu, harus ada kesamaan visi di negara-negara kawasan dalam hal peraturan dan pengawasan kripto. Same business, same risk, same regulation,” tegasnya.

Risiko Aset Kripto

Khusus menyoroti soal regulasi kripto dalam tataran MEA, Doddy menyebut negara-negara Asean sudah mulai ancang-ancang terhadap dampak mata uang digital ke ekonomi makro. Mereka sepakat bahwa mata uang digital pasti akan memengaruhi aliran modal dan membuat gejolak di pasar keuangan menjadi lebih drastis.

“Kalau bukan CBDC [central bank digital currency/mata uang digital yang diterbitkan bank sentral], bagaimana memonitornya? Kalau [kripto] volatilitasnya tinggi dan sulit dikontrol, pada akhirnya sulit untuk mengontrol bagaimana perdagangannya. Ujungnya bisa berimbas pada harga dan inflasi. Dampak ke ekonomi makro ini yang kita lihat sebagai tantangan,” ujarnya. 

Investasi Aset Kripto di Indonesia (Dennis A Pratama/Bloomberg Technoz)

Menurutnya, kekhawatiran regulator terhadap nilai tukar kripto tidak hanya terjadi di Asean, tetapi hampir di seluruh dunia. Hingga saat ini, menurutnya, tantangan terberat untuk mengimplementasikan regulasi kripto pada saat MEA adalah supervisi atau pengawasannya.

“Dan satu lagi yang paling sulit adalah data gap. Data [aset kripto] bisa kita peroleh atau tidak? Kalau data gap-nya muncul, apapun kebijakan yang akan kita ambil akan sia-sia. Oleh karena itu, kita sedang merumuskan data gap initiative. Negara-negara Asean harus memiliki pemahaman yang sama soal tantangan dan risiko kripto ini,” ujarnya. 

(wdh/ggq)

No more pages