Riset dari PricewaterhouseCoopers LLP menyebut, dalam skenario rendah emisi yang optimistis pada 2050, lebih dari separuh tambang tembaga dunia akan berada di wilayah yang terkena risiko kekeringan yang dianggap signifikan, tinggi, atau ekstrem.
Untuk dua logam transisi energi lainnya – litium dan kobalt – paparan kekeringan bahkan lebih tinggi yaitu 74%, demikian temuan studi tersebut.
Harga tembaga telah menguat dalam beberapa bulan terakhir hingga melampaui US$10.000/ton, dipicu oleh kekhawatiran akan kekurangan pasokan karena pertambangan kesulitan memenuhi meningkatnya permintaan kendaraan listrik, infrastruktur jaringan listrik, dan pusat data.
Data LME hari ini juga menunjukkan harga komoditas logam non-ferrous andalan Indonesia lainnya, yakni timah, mengalami penurunan harga. Timah ditutup melemah 4,15% ke level US$31.216/ton pada Selasa.
Sebaliknya, nikel menguat 0,47% menjadi US$19.238/ton dan aluminium menguat 0,06% menjadi US$2.591/ton.
(dov/wdh)