Logo Bloomberg Technoz

“Pertumbuhan EV dan green energy membuat kebutuhan akan tembaga meningkat dan ini akan berpengaruh kepada harga sebagai akibat mekanisme supply-demand.”

Harga tembaga dunia


Sekadar catatan, harga tembaga dunia jatuh usai melampaui level US$10.000/ton di London Metal Exchange (LME). Data LME hari ini, Rabu (1/5/2024), menunjukkan tembaga turun 1,43% menjadi US$9.991/ton pada perdagangan Selasa (30/4/2024), waktu setempat.

Dalam kaitan itu, Rizal mendorong pemerintah bisa menggencarkan eksplorasi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan ini membutuhkan waktu yang lama dan modal yang besar.

Selain itu, cadangan yang cukup besar dibutuhkan untuk mendapatkan tingkat pengembalian modal dan keuntungan yang wajar.

Maka, sambungnya, pemerintah dan masyarakat harus mendukung kegiatan eksplorasi dan pengembangan. Dengan demikian, penambang memiliki kepastian berusaha dan proyek bisa berjalan sesuai dengan harapan.

“Pemerintah harus bisa menjamin keamanan dan ketenangan berusaha agar investor dapat bekerja dengan tenang dan aman,” ujarnya.

“Sosialisasi dan penegakan hukum perlu dikedepankan mengingat investasi cukup besar yang harus ditanggung investor. Semua sudah diatur dalam regulasi dan aturan yang telah dibuat pemerintah.”

Selain itu, penambang juga tentu bakal melakukan studi kelayakan atau feasibility study sebelum melakukan kegiatan eksplorasi tersebut.

Feasible tidaknya suatu proyek tambang akan sangat ditentukan oleh besarnya cadangan, geometalurgi yang nantinya dikaitkan dengan teknologi proses, biaya modal [capital expenditure], biaya operasi [operating expenditure], harga produk, sosial, legal, dan daya dukung lingkungan,” ujar Rizal. 

Tambang terbuka tembaga Oyu Tolgo milik Rio Tinto di Mongolia./Bloomberg-SeongJoon Cho

Ancaman Kekeringan

Proyeksi kebutuhan tembaga dunia di tengah proses transisi energi ramah lingkungan terbukti membantu mendorong harga logam kabel itu ke level tertinggi dalam 2 tahun terakhir. Akan tetapi, sebuah laporan baru menyoroti risiko terhadap pasokan tembaga pada masa depan akibat perubahan iklim.

Riset dari PricewaterhouseCoopers LLP menyebut, dalam skenario rendah emisi yang optimistis pada 2050, lebih dari separuh tambang tembaga dunia akan berada di wilayah yang terkena risiko kekeringan yang dianggap signifikan, tinggi, atau ekstrem.

Untuk dua logam transisi energi lainnya – litium dan kobalt – paparan kekeringan bahkan lebih tinggi yaitu 74%, demikian temuan studi tersebut.

Harga tembaga telah menguat dalam beberapa bulan terakhir hingga melampaui US$10.000 /ton, dipicu oleh kekhawatiran akan kekurangan pasokan karena pertambangan kesulitan memenuhi meningkatnya permintaan kendaraan listrik, infrastruktur jaringan listrik, dan pusat data.

Di sisi lain, lonjakan harga tembaga menjadi US$10,000 per ton —yang terjadi hanya beberapa hari setelah berita mengejutkan bahwa BHP Group mencoba membeli Anglo American Plc  — merefleksikan adanya masalah inti di jantung industri tambang dunia, yaitu; para penambang ternyata tidak cukup membangun tambang.

Semua produsen terbesar di tingkat global ingin meningkatkan produksi tembaga untuk memanfaatkan momentum peningkatan permintaan komponen EV, infrastruktur jaringan listrik, dan pusat data.

Produksi dari tambang  tembaga eksisting di berbagai negara akan segera turun tajam pada tahun-tahun mendatang. Menghadapi risiko itu, korporasi penambang pun perlu mengeluarkan lebih dari US$150 miliar antara 2025 dan 2032 untuk memenuhi kebutuhan pasokan industri, menurut CRU Group.

Tambang tembaga First Quantum Minerals Ltd di Panama./dok. Bloomberg


“Tembaga sepertinya merupakan risiko pasokan terakhir yang tersisa bagi industri kendaraan listrik,” kata Bernard Dahdah, analis komoditas senior di Natixis SA, dikutip Bloomberg.

“Dalam skenario net-zero, kita akan membutuhkan tembaga dalam jumlah besar, dan kita memerlukan strategi berbeda untuk meningkatkan pasokan.”

(dov/wdh)

No more pages