Logo Bloomberg Technoz

Tekanan jual di pasar surat utang domestik tidak bisa dilepaskan dari arus jual di pasar global yang juga menekan pasar Treasury, surat utang AS. Sinyal higher for longer yang semakin kuat menyusul berbagai data ekonomi AS belakangan, telah memantik lonjakan yield UST hingga di atas 5% untuk tenor pendek dan tenor acuan 10Y sempat menyentuh 4,7%.

Pelemahan rupiah yang semakin tak terbendung hingga ke level terburuk sejak pandemi Covid-19, membuat animo pemodal asing di instrumen fixed income ini seakan tak bersisa bahkan setelah Bank Indonesia akhirnya mengerek bunga acuan BI rate 25 bps demi menjeda tekanan pada rupiah dan memperlebar selisih imbal hasil.

Kepemilikan investor asing di instrumen SBN menyentuh level terendah sejak Januari 2023, menjadi tinggal Rp791,03 triliun pada 29 April. Terjadi penurunan sedikitnya Rp19,67 triliun selama April saja. 

Sementara bila menghitung sepanjang tahun ini hingga data setelmen 25 April, sebagaimana laporan Bank Indonesia, asing telah melepas sedikitnya Rp47,26 triliun SBN.

Tidak punya sokongan

Di awal tahun ketika sentimen global masih positif pasca sinyal dovish The Fed pada Desember, tekanan sejatinya sudah berlangsung di pasar surat utang terbitan pemerintah RI.

Ketika itu, sentimen Pemilu 2024 masih menahan animo investor. Setelah hasil Pemilu 2024 didapatkan, animo asing juga masih belum kembali. Bahkan semakin susut. Penyebabnya, kekhawatiran terhadap prospek kebijakan fiskal pada pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 di mana ada potensi bolong defisit yang kian besar akibat berbagai rencana program populis seperti makan siang gratis.

Pada saat yang sama, tren penurunan kinerja ekspor juga memperkecil nilai surplus neraca dagang, memberi tekanan lebih besar pada fundamental pasar dolar AS. Transaksi berjalan yang sudah defisit pada 2023 diprediksi semakin lebar defisitnya tahun ini dan memicu terjadinya defisit kembar pada lini fiskal dan current account.

Faktor geopolitik yang semakin menaikkan ketidakpastian dan mengancam lonjakan harga energi global dari mulai minyak mentah hingga batu bara, juga membayangi kekuatan APBN. Lonjakan harga minyak bisa membengkakkan subsidi dan melebarkan defisit. 

Ini yang membuat rupiah menjadi sangat rentan dengan sentimen dana asing. Seperti spiral yang berkelindan, pelemahan rupiah yang semakin dalam mengikis minat asing ke SBN. Selisih imbal hasil yang kurang kompetitif, sempat di bawah 250 bps, ditambah risiko dari kurs yang melemah hingga lebih dari 2% dalam sebulan, tidak memberi alasan lebih besar bagi pemodal untuk mempertahankan posisi di SBN.

Hawkish pivot

Bila hasil FOMC nanti malam Gubernur The Fed Jerome Powell sesuai prediksi melemparkan sinyal pembalikan arah kembali ke hawkish, tekanan pada pasar surat utang RI akan berlanjut. 

Indikator sentimen Fed memperlihatkan Powell akan melontarkan hawkish pivot nanti malam (Bloomberg)

Lonjakan yield Treasury sudah dimulai di mana semalam level imbal hasil UST 5Y saja sudah di 5,025% dan 10Y merangkak ke 4,667%. Kenaikan yield itu bisa memicu dana global semakin banyak melepas SBN demi menadah harga Treasury yang sudah jatuh karena imbal hasil cukup tinggi untuk peringkat kredit AS yang lebih tinggi.

Dengan kata lain, tekanan yang masih terus berlanjut di pasar obligasi global bisa menjalar lebih lama di pasar domestik dan pasar mungkin akan menyaksikan yield SBN menyentuh 7,3%-7,4% dalam waktu dekat. 

Bila sudah menyentuh level itu, mungkin baru akan ada peluang aksi beli baru dengan kini rate differential BI rate dengan Fed fund rate lebih lebar 75 bps yang diharapkan memberikan sokongan terhadap rupiah. 

Bank Indonesia memperkirakan, rupiah masih akan tertekan di kisaran Rp16.200/US$ pada kuartal ini, kemudian beranjak menguat ke Rp16.000/US$ pada kuartal berikutnya dan baru berpeluang menguat di bawah Rp16.000/US$ pada kuartal akhir 2024.

(rui)

No more pages