Selain itu, Indonesia juga bakal merasakan keuntungan dari pembagian laba atau dividen dari Freeport. Apalagi, Indonesia saat ini memiliki 51% saham di Freeport.
“Khusus Freeport, keuntungan utama adalah dari dividen yang akan didapatkan dari keuntungan usaha. Saat ini Indonesia memiliki 51% saham di Freeport. Tentu kondisi ini akan memberikan keuntungan yg lebih besar akibat kenaikan harga tersebut,” ujar Rizal saat dihubungi Bloomberg Technoz, Selasa (30/4/2024).
Sekadar catatan, Freeport sebelumnya menyetorkan sekitar Rp3,35 triliun bagian daerah atas keuntungan bersih perusahaan pada 2023 kepada Pemerintah Provinsi Papua Tengah, kabupaten penghasil, dan kabupaten lain di Provinsi Papua Tengah.
Pada 2023, PTFI memproduksi 1,65 miliar pon tembaga serta 1,97 juta ons emas. Dari kinerja operasi PTFI tersebut, perusahaan mencatat laba bersih senilai US$3,16 miliar atau setara dengan Rp48,79 triliun (dengan asumsi kurs Rp15.439 per US$).
Secara keseluruhan, penerimaan negara dalam bentuk pajak, royalti, dividen, dan pungutan lainnya mencapai lebih dari Rp40 triliun pada 2023, termasuk kontribusi ke daerah mencapai lebih dari Rp9 triliun.
Bagaimanapun, Rizal menggarisbawahi adanya peningkatan biaya operasional berupa kenaikan biaya energi, bahan penolong dan perawatan imbas perkembangan geopolitik global saat ini.
Keropos Industri Tambang
Lonjakan harga tembaga menjadi US$10,000 per ton —yang terjadi hanya beberapa hari setelah berita mengejutkan bahwa BHP Group mencoba membeli Anglo American Plc — merefleksikan adanya masalah inti di jantung industri tambang dunia, yaitu; para penambang ternyata tidak cukup membangun tambang.
Semua produsen terbesar di tingkat global ingin meningkatkan produksi tembaga untuk memanfaatkan momentum peningkatan permintaan komponen kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), infrastruktur jaringan listrik, dan pusat data.
Produksi dari tambang tembaga eksisting di berbagai negara akan segera turun tajam pada tahun-tahun mendatang. Menghadapi risiko itu, korporasi penambang pun perlu mengeluarkan lebih dari US$150 miliar antara 2025 dan 2032 untuk memenuhi kebutuhan pasokan industri, menurut CRU Group.
“Tembaga sepertinya merupakan risiko pasokan terakhir yang tersisa bagi industri kendaraan listrik,” kata Bernard Dahdah, analis komoditas senior di Natixis SA, dikutip Bloomberg. “Dalam skenario net-zero, kita akan membutuhkan tembaga dalam jumlah besar, dan kita memerlukan strategi berbeda untuk meningkatkan pasokan.”
Kekhawatiran mengenai pasokan telah menjadi kekuatan pendorong kenaikan harga tembaga sebesar 16% tahun ini. Berbeda dengan saat terakhir harga mencapai US$10.000, permintaan tembaga saat ini justru relatif lemah dan pasar fisik memiliki pasokan yang baik.
Adapun, data LME menunjukkan harga komoditas logam non-ferrous lainnya mengalami penguatan. Aluminum ditutup menguat 0,8% menjadi US$2.590/ton pada penutupan perdagangan Senin. Nikel ditutup menguat 0,25% menjadi US$19.148/ton dan timah menguat 0,48% menjadi US$32.566/ton.
(dov/wdh)