Kendati demikian, Yannes mengatakan bioetanol juga memiliki 3 dampak positif terhadap kinerja mesin kendaraan.
Secara positif, kata Yannes, bioetanol menawarkan peningkatan angka oktan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bensin, sehingga dapat mengurangi risiko munculnya bunyi seperti ketukan atau knocking pada mesin.
Selain itu, bioetanol menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah, termasuk karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon (HC), yang berkontribusi pada penurunan polusi lingkungan.
“Penggunaan bioetanol juga dapat meningkatkan performa mesin, seperti akselerasi dan tenaga, pada beberapa kasus,” ujar Yannes.
Penyesuaian Sektor Otomotif
Bila pada akhirnya bioetanol bakal menggantikan bahan bakar berbasis fosil seperti Pertalite dan Pertamax, Yannes berpendapat sektor industri otomotif pun harus melakukan berbagai penyesuaian.
Penyesuaian perlu dilakukan untuk memastikan kesesuaian atau kompatibilitas kendaraan dan mesin dengan bioetanol serta memaksimalkan manfaatnya.
Adapun, penyesuaian ini mencakup modifikasi mesin untuk optimalisasi penggunaan bioetanol melalui penyesuaian sistem bahan bakar dan sistem pembakaran.
“Selain itu, pengembangan komposisi bahan bakar bioetanol yang sesuai untuk berbagai jenis mesin dan kondisi penggunaan menjadi penting. Perubahan infrastruktur, termasuk pengembangan sistem distribusi dan penyimpanan serta modifikasi stasiun pengisian bahan bakar umum [SPBU], juga diperlukan,” ujar Yannes.
“Ini hal yang sering terlewat, kampanye edukasi masyarakat mengenai manfaat dan penggunaan bioetanol yang aman dan efektif juga menjadi bagian penting dari penyesuaian ini.”
Yannes menggarisbawahi penyesuaian tersebut membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Namun, penyesuaian ini juga dapat meningkatkan permintaan kendaraan yang kompatibel dengan bioetanol, membuka peluang pasar baru, dan meningkatkan citra industri otomotif.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengonfirmasi pemerintah bakal menambah bauran bioetanol hingga 20% pada 2025. Adapun, peningkatan bauran bioetanol dilakukan sebagai upaya persiapan untuk menghasilkan bahan bakar ramah lingkungan pengganti Pertalite dan Pertamax.
Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman mengatakan rencana tersebut mengacu kepada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 12/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain.
“Mengacu ke Permen ESDM No. 12/2015, tahapan minimal kewajiban pemanfaatan bioetanol diatur 5% pada 2020 dan naik 20% pada 2025,” ujar Saleh saat dihubungi Bloomberg Tecnoz.
Di sisi lain, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga mengonfirmasi pembentukan satgas tersebut memang bertujuan untuk menyiapkan bahan baku biofuel pengganti Pertalite atau Pertamax yang bakal mulai digunakan pada 2027.
Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot mengungkapkan pemerintah saat ini tengah melakukan persiapan lapangan, sehingga target produksi bahan baku tebu untuk bahan bakar berbasis bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa tercapai pada 2027.
“Penyediaan bioetanol yang berasal dari fermentasi tetes [tebu/molasses] digunakan untuk pengganti Pertamax atau Pertalite. [Bioetanol pengganti Pertalite atau Pertamax bisa digunakan] sesuai dengan rencana produksi di Merauke pada 2027,” ujar Yuliot kepada Bloomberg Technoz.
(dov/wdh)