Sukuk ritel adalah obligasi ritel (ORI) dengan akad syariah. ORI lebih dulu kondang sebagai salah satu favorit investasi para investor ritel di Indonesia. Tahun lalu, sukuk ritel kebanjiran peminat dengan mencatat penawaran masuk mencapai Rp 27 triliun.
Instrumen surat utang ritel yang terakhir dirilis oleh pemerintah yaitu Saving Bond Ritel (SBR) seri 012 (SBR012) juga diserbu peminat hingga melampaui target yang ditetapkan dengan catatan dana investasi masuk mencapai Rp 22 triliun pada Februari lalu.
Banyak Kelebihan
Sebetulnya instrumen investasi syariah ini memiliki cukup banyak kelebihan yang membuatnya layak dipilih sebagai alat investasi menjanjikan, terutama bagi investor konservatif yang enggan mengambil risiko tapi mencari keuntungan menarik.
Pertama, imbal hasil yang ditawarkan cukup tinggi yaitu sebesar 6,25% untuk SR018-T3 dan 6,40% untuk SR018-T5, masih di atas rata-rata tingkat keuntungan simpanan di bank. Berdasarkan data Bank Indonesia yang dikompilasi oleh Bloomberg, return rate deposito bank bertenor 12 bulan rata-rata sebesar 3,59%, sedang untuk simpanan berjangka waktu 1 bulan tingkat pengembaliannya hanya 3,42% per tahun.
Bukan hal mengagetkan mengingat tingkat bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) saat ini ada di angka 4,25% untuk bank umum dan 6,75% untuk bank rakyat (BPR).
Kedua, SR018 bisa diperjualbelikan di pasar sekunder sehingga investor berpeluang mengantongi keuntungan penjualan (capital gain) yaitu saat harga sukuk ritel tengah naik. Dengan itu, investor bukan hanya memiliki satu cara investasi saja untuk instrumen ini misalnya dengan pegang hingga jatuh tempo dan menerima pembayaran kupon tetap seperti halnya sukuk tabungan atau saving bond ritel.
Bila di tengah perjalanan sebelum tanggal jatuh tempo investor membutuhkan dananya di sukuk ritel, ia bisa menjualnya di pasar sekunder dengan mudah.
Ketiga, nilai investasi awal sangat terjangkau yaitu mulai Rp 1 juta saja hingga Rp 5 miliar untuk tenor 3 tahun dan hingga Rp 10 miliar untuk tenor 5 tahun.
Kalah Saing dengan Deposito Bank Digital?
Di tengah tren bunga acuan yang tinggi seperti saat ini di mana Bank Indonesia telah mengerek BI7DRR hingga 225 bps sejak tahun lalu, instrumen investasi yang memberikan pendapatan tetap menghadapi kenaikan pamor produk deposito bank, terutama penawaran dari bank-bank digital dan bank rakyat alias BPR.
Produk deposito bank yang lama ditinggalkan oleh pemodal karena dinilai tidak memberi return rate menarik, kini justru banyak diminati sejurus dengan kenaikan bunga acuan yang juga mengungkit imbal hasil deposito. Contoh saja, produk deposito bank digital yang memberi return rate hingga 7% per tahun untuk penempatan dana minimal Rp 1 juta dan jatuh tempo 1 bulan serta 3 bulan seperti yang ditawarkan oleh Sea Bank.
Bank digital lain seperti Bank Neo Commerce juga mengimingi imbal hasil tinggi sampai 8% untuk deposito dengan minimal penempatan Rp 1 juta dan tenor 12 bulan.
Bukan cuma bank digital yang jor-joran menawarkan bunga tinggi untuk produk simpanan. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga tak mau kalah. Penelusuran Bloomberg Technoz beberapa waktu lalu mendapatkan tawaran bunga deposito BPR cukup tinggi di atas 6% bahkan ada yang nyaris 9% per tahun, jauh melampaui bunga penjaminan LPS untuk simpanan di BPR saat ini di kisaran 6,75%.
Tingkat imbal hasil lebih tinggi ditambah tenor lebih pendek kemungkinan membuat produk deposito lebih menarik bagi investor kendati beban pajak simpanan lebih besar yaitu 20% sedangkan pajak obligasi hanya 10%.
(rui)