"Israel mengambil keuntungan dari serangan itu untuk membalas secara tidak proporsional dengan dalih bahwa itu adalah balas dendam terhadap Hamas," kata Abbas.
"Sejak 7 Oktober, kami mengutuk serangan ini," katanya. "Kita tidak boleh mengulangi peristiwa Nakbah tahun 1948 dan 1967," katanya, mengacu pada pemindahan massal dengan kekerasan yang menyebabkan hilangnya rumah, identitas, dan dalam banyak kasus, hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil, bagi warga Palestina.
Saat ini, sebagian besar wilayah Gaza telah menjadi puing-puing, dan lebih dari 34.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, telah terbunuh dalam perang yang dipicu oleh kelompok militan Hamas yang didukung oleh Iran pada bulan Oktober lalu.
Serangan militan tersebut menyebabkan kematian sekitar 1.200 warga Israel dan lebih dari 100 orang masih disandera di Gaza.
Abbas menegaskan kembali perlunya mendirikan sebuah negara Palestina yang mencakup Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem, serta mengakui negara Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Presiden mengutip perbandingan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borell tentang keadaan Gaza yang mengerikan dengan kota-kota Jerman selama Perang Dunia II.
Pemimpin Otoritas Palestina juga memperingatkan bahwa Israel akan beralih ke Tepi Barat setelah perang berakhir di Gaza.
Perang Gaza akan menjadi topik yang sangat dibahas dalam pertemuan WEF, bahkan ketika negosiasi resmi sedang berlangsung di tempat lain antara Israel, Qatar, dan Mesir. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken diperkirakan akan tiba di Riyadh saat pemerintahan Presiden AS Joe Biden melanjutkan upayanya untuk menyelesaikan krisis ini.
(red/ros)