Ia mengatakan, masing-masing negara harus mulai melakukan berbagai penyesuaian dalam perekonomian negaranya, akibat dinamika pasar yang dapat berubah dengan sangat cepat. Dengan begitu, negara-negara berkembang cenderung berhati-hati untuk memitigasi risiko ketidakpastian global.
“Jadi pergerakan nilai tukar ini dirasakan dan dibahas dalam pembahasan spring meeting kemarin, kecenderungan terjadinya capital outflow (dana asing keluar), koreksi terhadap nilai tukar, harga saham, dan yield dari surat berharga menjadi fokus pembahasan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di G20 atau pertemuan IMF minggu lalu,” katanya.
Sebelum itu, Sri Mulyani mengungkap mewaspadai konflik geopolitik di Timur Tengah akan menyebabkan tekanan inflasi untuk Indonesia, dan akhirnya berdampak membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024.
Bendahara Negara memaparkan konflik yang terjadi antara Iran dan Israel semakin memanas, dan menjadi pembicaraan para pemimpin negara. Menurut dia, hal ini akan membebani rantai pasok, terutama harga komoditas minyak dan gas (Migas) yang akan cenderung melambung dan membebani anggaran negara.
"Kita masih perlu harus waspada terhadap kemungkinan burden disruption (disrupsi beban), dari rantai pasok, terutama minyak dan gas, karena kondisi di regional masih sangat fluid (dinamis), dan kecenderungan harga minyak yang tinggi, berarti masih akan mempengaruhi APBN dan perekonomian kita, serta menyebabkan tekanan inflasi," kata Sri Mulyani.
Dia menceritakan, eskalasi ketegangan antara Iran dan Israel meningkat, bahkan terjadi ada operasi militer terbatas, meskipun seluruh pihak tetap berharap kedua pihak pihak memegang komitmen untuk menghindari perang secara terbuka.
"Namun ketegangan itu terjadi, bahkan sempat konflik militer terjadi, ini harus diwaspadai," tutur Sri Mulyani.
(azr/lav)