Perekonomian AS yang ditengarai masih kuat sehingga membuka potensi reakselerasi inflasi, mengikis potensi penurunan bunga acuan The Fed. Tingginya Fed fund rate melambungkan imbal hasil surat utang AS yang membuat dana global tersedot ke negeri itu, membawa dolar AS semakin digdaya dan menjatuhkan mata uang lawannya, termasuk rupiah.
"Kenaikan BI rate seharusnya bisa memberi dukungan pada rupiah. Hanya saja, perkembangan eksternal terutama yang terkait data ekonomi AS masih menjadi penyetir utama dalam jangka pendek. Rupiah bisa menguat di bawah Rp16.000/US$ bergantung pada bagaimana data ekonomi AS nanti," kata Alan Lau, Strategist di Maybank Singapura.
Ketergantungan Dana Asing
Sebenarnya posisi dana asing di surat utang RI sejauh ini sudah sangat jauh berkurang dibanding proporsi sebelum pandemi Covid-19. Sebelum pagebluk, asing menguasai sekitar 40% surat utang di pasar. Ketika mereka keluar dalam jumlah besar, rupiah akan langsung terpuruk. Itu yang terjadi ketika rupiah sempat menyentuh level terburuk sepanjang sejarah di Rp16.575/US$ pada Maret 2020.
Kini, kepemilikan asing di SBN sudah tinggal 14% dari total outstanding. Angka itu setara dengan Rp794,06 triliun. Penguasa terbesar surat utang saat ini adalah Bank Indonesia dan perbankan dengan porsi kepemilikan masing-masing sebesar 24,5% (gross) dan 23,81%. Asuransi dan dana pensiun menguasai sekitar 18,6% dari total SBN di pasar saat ini yang nilainya mencapai Rp5.725,7 triliun per 23 April.
Proporsi dana asing yang sudah lebih kecil nyatanya tidak mempengaruhi sensitivitas arus keluar masuk dana asing terhadap nilai tukar karena dari segi nominal masih besar. Dana asing masih signifikan mempengaruhi pergerakan rupiah.
"Cadangan devisa kita tidak cukup banyak, surplus perdagangan juga tak sebesar itu," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Mega Capital Sekuritas.
Cadangan devisa RI per akhir Maret sebesar US$140,4 miliar, sementara surplus neraca dagang bulan lalu di atas US$4 miliar. Masih kecil, tidak ada apa-apanya bila dibandingkan nilai cadangan devisa China yang mencapai US$3.245,66 miliar.
Dengan kini BI menjadi pemegang terbanyak SBN, imbas burden sharing ketika pandemi meletus, situasinya juga dilematis. "Bila BI menjual SBN miliknya, itu akan memicu kontraksi dobel dalam kebijakan moneter yang akan berdampak negatif bagi likuiditas pasar. Pasalnya, likuiditas sudah mengering akibat intervensi BI ke pasar valas. Selain itu, kondisi finansial juga makin mengetat sejalan dengan BI berusaha menaikkan imbal hasil," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas.
Amunisi Lain
Pada saat yang sama, amunisi lain seperti merilis tiga instrumen penampung 'hot money' seperti SRBI, SVBI dan SUVBI juga tidak terlalu ampuh menolong rupiah.
Adapun penerapan kewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor sejak Agustus 2023, nyatanya tidak banyak memberi bantuan. Sampai 23 April, penempatan DHE di instrumen term deposit valas stagnan di US$1,95 miliar, tidak berubah dari bulan sebelumnya.
“Saat ini memang pemerintah sedang melakukan dengan BI juga untuk mengevaluasi hasil dari penempatan DHE yang ada dan mengoptimalkan potensi yang ada untuk implementasi dari sektor-sektor ini, jadi mungkin ke depan kita bisa update lagi,” kata Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta.
Sementara penempatan dana asing di SRBI juga semakin turun, hanya Rp71,55 triliun atau 18,2% dari total outstanding yang mencapai Rp393,6 triliun. Untuk SVBI dan SUVBI lebih kecil lagi masing-masing nilainya US$1,8 miliar dan US$334 juta.
"Kami memperkirakan BI akan mempertahankan tone hawkish dan akan lebih lanjut mengembangkan alat moneter seperti SRBI untuk menarik dana asing, atau bahkan memperkuat kebijakan DHE untuk mendukung suplai dolar AS," kata Jefrrey Zhang, Emerging market strategist Credit Agricole di Hong Kong.
Bila pemicu pelemahan rupiah terutama adalah karena tekanan eksternal, maka menaikkan BI rate memang sulit diharapkan langsung membalik minat asing untuk masuk ke pasar.
Namun, mengacu pada semakin mundurnya perkiraan penurunan Fed fund rate hingga ke kuartal IV nanti, akan semakin susah bagi rupiah untuk bertahan tanpa dibekali respon kebijakan yang kuat dari bank sentral. Bahkan ketika dampak pilihan kebijakan itu akan dirasakan pahit bagi sektor riil. BI sendiri memperkirakan rupiah baru bisa bangkit menguat meninggalkan zona Rp16.000/US$ pada akhir tahun nanti.
(rui/aji)