Namun, SKK Migas bakal fokus mendorong agar rencana kegiatan 2024 dapat terlaksana sesuai jadwal sehingga momentum harga minyak yang tinggi dapat menjadi tambahan penerimaan pemerintah.
Saat ini, SKK Migas tengah fokus untuk mengembalikan tingkat produksi nasional yang sempat terganggu oleh banjir pada awal tahun.
“Upaya untuk melakukan recovery sudah dilakukan dan di beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sudah terlihat dampaknya,” ujar Hudi.
Selain itu, SKK Migas juga bakal berupaya dari sisi pengaktifan kembali sumur, kegiatan pengeboran serta pemeliharaan berupa work over well service (WOWS) untuk mencapai target yang sudah ditetapkan pada awal tahun.
Pengusaha Pesimistis
Lain sisi, kalangan pengusaha hulu migas di Indonesia justru menilai harga minyak dunia yang relatif stabil pada level tinggi tidak serta-merta bisa menjadi momentum industri tersebut untuk meraup keuntungan.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan hal itu terjadi karena mayoritas lapangan migas di Indonesia sudah tua (mature field), di mana produksi secara natural sudah mengalami penurunan.
Dengan kondisi tersebut, harga minyak yang tinggi tidak serta-merta membuat produksi di hulu meningkat, sebab Indonesia masih membutuhkan tambahan investasi dan teknologi untuk mendongkrak produksi.
“Harga minyak tinggi sejak 2022 karena perang Ukraina dan Rusia, tetapi produksi kita tetap turun. Memang tidak segampang memutar keran dan produksi meningkat. Semua butuh investasi dan waktu,” ujar Moshe saat dihubungi, Selasa (23/4/2024).
Untuk diketahui, realisasi produksi siap jual atau lifting minyak pada 2023 resmi meleset jauh dari target, dengan capaian hanya 612.000 barel per hari (bpd) pada 31 Desember dari bidikan sejumlah 660.000 bpd.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto sebelumnya mengatakan target lifting minyak Indonesia sebanyak 1 juta barel pada 2030 pun dipastikan mundur selama 2 hingga 3 tahun. Dengan demikian, target tersebut diproyeksikan baru bisa tercapai pada 2033.
Dwi menyebut peninjauan ulang terhadap target yang termaktub dalam rencana jangka panjang atau long term planning (LTP) perlu dilakukan, khususnya karena adanya pandemi Covid-19 yang menghambat operasional lifting minyak.
Dwi mengeklaim SKK Migas telah berkomitmen untuk mencapai target tersebut, bahkan KKKS juga sudah melakukan penandatanganan komitmen untuk mewujudkan target tersebut. Namun, upaya tersebut terhambat dengan adanya pandemi Covid-19.
“Sebenarnya sudah dapatkan resume, tetapi belum secara resmi kita launching LTP baru, intinya [target lifting minyak 1 juta barel pada 2030] mundur sekitar 2—3 tahun karena diakibatkan pandemi yang kita hadapi,” ujar Dwi dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, belum lama ini.
(dov/wdh)