Kemudahan mengurus surat keterangan asal barang (SKA), serta pemberian tarif preferensi dalam skema RCEP dapat menjadi daya tarik produsen EV maupun baterai listrik global. Apalagi, cadangan nikel dan kobalt yang digunakan sebagai bahan baku baterai listrik sangat melimpah di Indonesia.
"Posisi Indonesia dalam pasar kendaraan listrik masih sangat kecil namun berpotensi besar untuk terus berkembang. Apalagi, di Indonesia pengembangan kendaraan listrik menjadi semakin mendesak seiring dengan isu perubahan iklim yang kian menjadi prioritas pengambil kebijakan, tutur Hasran.
Pada 2019, hanya 812 unit kendaraan listrik yang terjual di Indonesia. Tiga tahun berselang, penjualan ini meningkat menjadi 15.437 unit atau meningkat sebesar 1.801%.
Kemudian pada 2022, Indonesia sudah memiliki empat perusahaan bus listrik, tiga perusahaan mobil listrik, serta 35 perusahaan roda dua dan tiga listrik. Dengan total investasi yang masuk sebesar Rp 1,92 triliun di tahun yang sama, Indonesia sudah mempunyai kapasitas produksi yang memadai dan cukup berkembang dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Perkembangan ini, tidak terlepas dari langkah-langkah inisiatif yang ditempuh oleh pemerintah dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2019, Indonesia menerbitkan Perpres Nomor 55/2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
Hasran menilai Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, seperti meningkatkan penelitian dan pengembangan serta pelatihan SDM di sektor kendaraan listrik.
"Untuk membiayai keduanya, mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [APBN] saja tidak cukup. Perlu ada skenario insentif yang lebih baik agar perusahaan kendaraan listrik juga mau melakukan kegiatan dan menyediakan pelatihan bagi pekerjanya maupun pihak luar," paparnya.
Selain itu, Indonesia perlu menetapkan prioritas utama dan fokus pada prioritas tersebut. Indonesia perlu menentukan, apakah dia ingin menjadi produsen baterai listrik, produsen kendaraan listrik ataukah keduanya.
Baterai adalah komponen utama dari kendaraan listrik dengan sumbangsih 35% dari keseluruhan biaya manufaktur kendaraan listrik. Rantai nilai yang dimiliki oleh baterai listrik saja sudah sangat kompleks mulai dari penambangan dan pemurnian bahan baku, manufaktur komponen, manufaktur satuan sel baterai, dan perakitan baterai.
"Ini belum termasuk manufaktur kendaraan listrik yang punya rantai produksinya sendiri hingga daur ulang EV. Masing-masing mata rantai ini bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk aspek penelitian dan pengembangan yang memang penting untuk dilaksanakan," tutupnya.
(rez/evs)