Rupiah terpantau perkasa sejak pagi tadi sejalan dengan kebangkitan mata uang Asia tersulut oleh pelemahan indeks dolar AS di pasar global. Rupiah menyentuh Rp16.150/US$, menguat 0,4% dari level penutupan kemarin.
"Akan menjadi sangat menentukan apakah akan ada kenaikan BI rate atau tidak. Ekonom kami melihat ada peluang 60% bunga acuan tetap dan 40% potensi kenaikan BI rate siang ini," kata Saktiandi Supaat, Ahli Strategi Maybank seperti dilansir dari Bloomberg News, siang ini.
Rupiah bisa menguat ke Rp16.000/US$ bila BI mengerek bunga acuan hari ini. Sebaliknya, bila keputusannya adalah ditahan, rupiah mungkin akan kembali melemah ke Rp16.200-Rp16.300/US$.
Pelaku pasar cenderung terbelah memprediksi langkah BI kali ini. Konsensus pasar yang dihimpun oleh Bloomberg sejauh ini memperkirakan BI masih akan menahan bunga acuan di 6% hari ini.
Namun, dalam survei terpisah, dari 41 analis yang dihubungi, sebanyak 11 orang memperkirakan BI rate akan naik ke 6,25% dan sisanya memprediksi bunga acuan tetap.
Bila BI memutuskan menahan BI rate kali ini, dalam penilaian ekonom Bahana Sekuritas, hal tersebut akan menghambat arus masuk modal asing.
"Para pemodal asing akan mempertanyakan komitmen BI dalam menstabilkan nilai tukar rupiah," kata Head of Equity Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan analis Drewya Cinantyan dalam catatannya.
Rupiah sudah tergerus lebih dari 3% selama April saja. Bila menghitung sejak awal tahun, pelemahan rupiah sudah melampaui 5%, salah satu yang terburuk di Asia. "Apakah investor asing tertarik beli surat utang rupiah tenor 10 tahun dengan imbal hasil 7,5% tapi dengan menghadapi risiko pelemahan mata uang hingga 2% sebulan?" ujar Satria.
Dengan penghitungan risiko nilai tukar, menjadi hal masuk akal ketika pada akhirnya para pemilik dana global lebih memilih berinvestasi di surat utang Amerika, Treasury, yang berpotensi memberi imbal hasil 5% tanpa menghadapi risiko depresiasi nilai tukar.
Imbal hasil surat utang RI terus melesat menjebol di atas 7% baik tenor pendek 2Y maupun 10Y. Level yield 7% menjadi yang tertinggi dalam enam bulan terakhir. Selisih imbal hasil Indonesia dengan Amerika masih di kisaran 245 bps, sudah lebih lebar namun masih lebih sempit dibanding yield spread India yang mencapai 256 bps. Apalagi dibanding surat utang pasar negara berkembang lain di Amerika Latin yang bisa 500 bps bahkan 600 bps dengan Treasury. Dengan kata lain, daya tarik investasi di surat utang RI relatif kurang menarik bagi pemodal.
(rui)