Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom menilai Bank Indonesia (BI) perlu menahan suku bunga acuan (BI Rate) di level 6% untuk saat ini. Bank sentral menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 23-24 April 2024, salah satunya membahas kebijakan BI Rate.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menjelaskan rupiah saat ini menghadapi tekanan mata uang yang sangat besar dan lonjakan arus keluar modal dalam dua minggu terakhir, dipicu oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan sentimen ‘high-for-longer’ dari bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve.
"Namun, menaikkan suku bunga acuan mungkin akan merugikan sektor riil dan BI masih memiliki beberapa opsi kebijakan lain yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut, didukung oleh jumlah cadangan devisa yang besar," ujar Teuku Riefky dalam laporan hasil risetnya, dikutip Rabu (24/4/2024).
Dalam dua pekan terakhir, situasi perekonomian global dipenuhi berbagai peristiwa. Data inflasi AS yang dirilis pada 10 April meningkat menjadi 3,5% (YoY) pada Maret 2024 dari 3,2% (YoY) pada bulan sebelumnya, didorong oleh beberapa komponen harga seperti bahan bakar, harga sewa, dan asuransi kendaraan. Angka inflasi AS yang lebih tinggi dari perkiraan menurunkan ekspektasi pasar akan penurunan suku bunga the Fed pada Juni.
Saat ini investor memproyeksikan penurunan suku bunga pertama oleh the Fed akan berlangsung September, sedangkan sebagian kecil investor menduga akan terjadi paling banyak satu kali pemotongan suku bunga acuan the Fed tahun ini. Rilis data inflasi AS memicu gejolak di pasar keuangan dan mendorong aksi flight-to-safety atau terbang untuk keselamatan oleh investor serta mengalihkan modalnya dari negara berkembang.
Hanya berselang beberapa hari, perekonomian global kembali dilanda peristiwa besar. Pada 13 April, Iran meluncurkan ratusan drone dan rudal ke arah Israel sebagai respon atas serangan Israel terhadap Konsulat Iran di Damaskus pada 1 April lalu. Eskalasi dari tensi geopolitik ini menyebabkan gejolak lanjutan di pasar keuangan global dan mengamplifikasi perpindahan modal ke aset safe-haven.
Bahkan sebelum rilis data inflasi AS dan meningkatnya ketegangan konflik Iran-Israel, pasar keuangan Indonesia sudah berada dalam tekanan yang cukup masif. Tercatat ada arus modal keluar dari Indonesia sejak akhir Maret hingga awal April, dipicu oleh sentiment bahwa AS berpotensi menahan suku bunga acuannya lebih lama dan mendorong investor mengalihkan portofolionya sebelum periode penutupan pasar keuangan selama periode libur panjang Idul Fitri.
Ketika pasar modal Indonesia kembali dibuka pada 16 April, rupiah sudah berada di atas Rp16,000/US$ dan langsung mengalami arus modal keluar. Selama minggu pertama pasca libur lebaran, arus modal keluar mencapai US$490 juta.
Lalu, akumulasi modal keluar selama satu bulan terakhir (18 Maret hingga 18 April) mencapai US$2,11 miliar dan tercatat sebagai arus modal keluar bulanan terbesar sejak September lalu. Imbasnya, imbal hasil surat utang Pemerintah Indonesia tenor 10-tahun meningkat ke 7,03% dari 6,67% sebulan sebelumnya, mencapai titik tertingginya dalam lima bulan terakhir.
Serupa, imbal hasil Surat Utang Pemerintah Indonesia tenor 1-tahun juga melonjak ke 6,33% dari 6,19% pada periode yang sama. Sebagai bentuk respon, BI meningkatkan intensitas intervensi moneter melalui strategi ‘triple intervention’ yaitu intervensi aktif di pasar spot valuta asing, pembelian SBN, dan intervensi di pasar domestic non-delivery forward (DNDF).
Intervensi yang dilakukan BI dalam seminggu terakhir mampu menstabilkan nilai tukar rupiah. Namun, karena besarnya tekanan eksternal, berbagai intervensi ini ‘hanya’ mampu menstabilkan rupiah di kisaran Rp16.200/US$. Rupiah sejauh ini terdepresiasi sekitar 2,98% (m.t.m) atau 5,5% (y.t.d) terhadap US$, tercatat sebagai salah satu mata uang dengan performa terburuk dibandingkan negara peers dan hanya lebih baik dari Lira Brazil dalam satu bulan terakhir.
Data terakhir cadangan devisa hanya tersedia hingga Maret 2024; sehingga tidak terlalu menggambarkan dampak dari perkembangan terkini di pasar keuangan global. Terlepas dari itu, cadangan devisa menurun sebesar US$3,6 miliar dari US$114,0 miliar di Februari 2024 ke US$140,4 miliar di Maret 2024, didorong oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah, antisipasi kebutuhan likuiditas valuta asing korporasi, dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian kondisi keuangan global.
Namun, tingkat cadangan devisa masih terhitung tinggi. Besaran cadangan devisa saat ini setara dengan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeripPemerintah, jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.
"Kondisi cadangan devisa saat ini memberikan BI ruang yang cukup untuk melakukan intervensi dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah, di tengah tekanan besar terhadap mata uang domestik," kata Teuku Riefky
Indonesia berada dalam tekanan nilai tukar yang masif dan mengalami arus modal keluar yang signifikan dalam dua minggu terakhir. Walaupun terdapat ruang untuk kenaikan suku bunga acuan, keputusan menaikkan BI Rate nampaknya bukanlah langkah ideal yang perlu diambil saat ini. Dalam beberapa hari terakhir, Rupiah mulai stabil di level kenormalan baru yaitu sekitar Rp16.200/US$ seiring dengan sentimen ‘high-for-longer’ yang sudah mulai termaterialisasi dan belum adanya eskalasi lebih lanjut dari konflik di Timur Tengah.
BI juga memiliki beberapa alternatif kebijakan yang dapat dioptimalisasi dengan dukungan cadangan devisa yang memadai. Di sisi lain, menaikkan suku bunga akan meningkatkan biaya pinjaman dan berdampak negatif terhadap sektor riil. Dengan demikian, peningkatan BI Rate dapat dipertimbangkan sebagai opsi terakhir menimbang potensi risiko domestik yang akan muncul.
(lav)