Namun, Irto memastikan perseroan tetap menjual Pertalite yang merupakan jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh pemerintah selaku regulator.
Pengembangan outlet Pertamax Green 95, kata Irto, lebih merupakan program Pertamina untuk mendukung dekarbonisasi menuju emisi nol bersih atau net zero emission (NZE).
Sebelumnya, Pertamina telah mengisyaratkan rencana untuk mengonversi Pertalite menjadi Pertamax Green 92 mulai 2024, meski belum didetailkan kapan persisnya BBM bauran bioetanol 7% (E7) itu mulai dipasarkan.
Menurut Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat bersama Komisi VII DPR RI akhir Agustus, Pertamax Green 92 kemungkinan dibanderol seharga Pertalite alias sekitar Rp10.000/liter. Dengan bauran E7, bahan bakar tersebut diklaim menaikkan RON Pertalite dari 90 menjadi 92.
"Tidak mungkin harga [Pertamax Green 92] diserahkan ke pasar. Tentu ada mekanisme subsidi dan kompensasi di dalamnya," ujar Nicke saat itu.
Nicke menjelaskan rencana penghapusan Pertalite merupakan bagian dari program Langit Biru untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Pada program Langit Biru Tahap 1, Pertamina telah menaikkan produk BBM subsidi dari BBM RON 88 Premium menjadi RON 90 Pertalite.
"Dengan harga yang sama, masyarakat mendapatkan yang lebih baik, dengan angka oktan yang lebih baik sehingga untuk mesin juga lebih baik, sekaligus emisinya juga menurun," tegas Nicke.
Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir membantah Pertamina akan menghapus Pertalite pada 2024.
Dia menjelaskan sebenarnya perusahaan tambang dan minyak milik negara itu mengusulkan skema agar penggunaan bensin dapat lebih efisien dan ramah lingkungan, salah satunya dengan mengkaji produksi Pertamax Green 92.
“Enggak. Semua pembicaraannya dibentuk media, katanya Pertalite akan dihapus. Tidak pernah ada statement itu. Enggak ada, yang ngomong siapa?” ujarnya usai acara Tumbuh Bersama, Bisa Tumbuh di Tangerang, awal September.
(dov/wdh)