Usai rangkaian aksi penyitaan ballpress pakaian bekas impor oleh aparat keamanan dan kementerian, para pedagang terkena imbasnya. Penjualan langsung turun tajam. Selain karena pelanggan tidak lagi datang ke Pasar Senen, stok pakaian juga semakin terbatas.
“Pasokan barang saja sudah jauh berkurang, karena kita kesulitan. Kedua, pengunjung juga. Turun drastis [omzet] 50% ada. Bisa lebih setengahnya. Kita kan perlu hidup, perlu bayar listrik, bayar sewa,” keluh Praseno.
Anggota P3S, yang juga berprofesi sebagai pedagang thrifting, Erick Simangunsong, mempertanyakan keadilan yang ingin disasar pemerintah. Bagi Erick justru tidaklah adil jika hanya berfokus pada keadilan industri tekstil.
“Pemerintah jangan mikirin yang punya tekstil saja. Ada lagi yang lain-lain. Janganlah mengatakan bahwa mereka itu adalah pelaku usaha yang benar. Kalau kami mau dipajak, silakan. Kalau [pedagang] dilegalkan, kami akan bayar pajak,” Erick meminta.
Ia menambahkan, semoga Presiden Jokowi dapat mempertimbangkan kembali pelarangan pakaian bekas impor. Jika memakai alasan menegakkan aturan, Erick minta dibuatkan regulasi yang saling menguntungkan.
“Bapak Presiden, bukalah hatinya. Presiden jangan lihat peraturan menteri perdagangan itu saja. Kami meminta [pemerintah] janganlah menutup keran mata pencaharian kami. Kalau boleh diatur sedemikian rupa, win-win solution lah. Ini kan juga kepentingan umum,” tegas Erick.
Praseno berharap persaingan usaha dilakukan secara adil. Tidak ada maksud untuk melawan aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Pedagang mengusulkan agar bisnis pakaian bekas menjadi legal.
“Thrifting dari dulu dipermasalahkan, dan sekarang puncaknya. Ya sudah legalkan saja. Kenapa di negara lain legal, di kita tidak dilegalkan? Takut bersaing? Bersaing apa? Kalau takut bersaing, kenapa produksinya sampai dibebaskan seperti itu? Kita bersaing secara sehatlah. jangan lah diobok-obok kami ini,” ucap dia.
Keluhan Praseno berlanjut saat melihat pejabat yang mengkampanyekan produk lokal, namun dalam keseharian justru memakai pakaian impor bermerek.
“Elit nyuruh pakai produk lokal, tapi dianya sendiri pake jas, jam topi dari luar, impor, branded semua. Mikir dong. Elinglah,” pungkas Praseno.
(wep)