Dengan kata lain, bila mengacu pada potensi kenaikan inflasi ke depan, kenaikan BI rate belum perlu dilakukan saat ini meskipun nilai tukar rupiah telah kehilangan 5,3% nilainya sepanjang tahun ini.
Inflasi Maret lalu memang terakselerasi ke 3,05%, tertinggi sejak Agustus 2023 karena lonjakan inflasi harga pangan menyusul peningkatan permintaan dengan kedatangan Ramadan dan Lebaran. Begitu musim perayaan berlalu, inflasi berpeluang kembali melandai. Berkaca pada hasil survei terbaru BI yang dirilis pekan lalu, ekspektasi inflasi ke depan yaitu pada Mei menurun tercermin dari Indeks Ekspektasi Harga yang melandai dari 161 menjadi 147,8.
"Perkiraan penurunan Indeks Ekspektasi Harga pada Mei 2024 terutama seiring dengan normalisasi aktivitas masyarakat pasca perayaan Idulfitri," jelas BI. Sementara ekspektasi harga pada enam bulan mendatang atau pada Agustus mencatat kenaikan jadi 164,9 dari 144,4.
Ekonom BCA melihat, kemungkinan kenaikan BI rate tidak tertutup ke depan nanti apabila rupiah masih dalam tekanan yang terus menerus dan sinyal The Fed makin hawkish. Namun, untuk RDG bulan ini, BI rate ia perkirakan masih di 6%.
Rupiah juga dinilai masih akan 'baik-baik saja' meskipun BI kembali menahan BI rate esok hari. Level saat ini di kisaran Rp16.200-an/US$ menjadi kenormalan baru. "Selama tidak ada kejadian yang ekstrem, seharusnya [rupiah] aman. Paling jelek [ada sentimen dari data] inflasi Amerika tapi itu baru bulan depan," kata Lionel Prayadi, Macro Strategist Mega Capital Sekuritas yang memprediksi BI akan kembali menahan bunga acuan esok hari.
Di ujung pekan ini Amerika memang akan melaporkan data inflasi PCE (personal consumption expenditure) pada Jumat malam nanti. Meski inflasi PCE itu sangat diperhatikan oleh The Fed sehingga mempengaruhi sentimen pasar, akan tetapi 'gong' lebih besar baru berbunyi pada Mei nanti ketika inflasi IHK bulan April diumumkan oleh Badan Statistik AS. "Fokus pasar saat ini sudah mulai melihat ke bulan depan," kata Lionel.
Bila BI rate diputus tetap, imbal hasil surat utang berpeluang turun dari posisi saat ini yang sudah di atas 7% untuk tenor pendek 2 tahun maupun 5 tahun. Sebaliknya, bila BI rate naik, ada potensi yield SUN melambung hingga di atas 7,2%.
Asing bersiap 'membanting'?
Modal asing sudah hengkang dari pasar keuangan domestik dengan nilai jual bersih mencapai lebih dari Rp30 triliun di pasar surat utang negara sejak awal tahun lalu. Di pasar saham, pekan lalu, asing net sell hampir Rp8 triliun namun masih mencatat posisi beli bersih bila dihitung sejak awal tahun.
Para ekonom bank asing menilai, akan menjadi tindakan terbaik bila pengetatan moneter melalui kenaikan BI rate terus dilanjutkan untuk menyokong rupiah. "Pelemahan rupiah akan terus terjadi bila BI kembali menahan bunga acuan pekan ini. Pengetatan lebih lanjut akan menjadi tindakan terbaik," kata Brendan McKenna, Ahli Strategi Mata Uang di Wells Fargo.
Rupiah berpeluang menyentuh Rp16.500/US$ tertekan sentimen bunga global di mana periode pivot Fed fund rate diperkirakan mundur jadi September dengan penurunan lebih sedikit.
Rupiah bahkan bisa anjlok hingga ke level terlemah sepanjang sejarah di Rp17.000/US$ pada September nanti bila tidak ada kebijakan yang mampu menahan arus keluar modal asing dari pasar domestik. "Pelemahan menuju Rp17.000/US$ akan terjadi bertahap, tidak serta merta. Namun, tanpa kenaikan BI rate, tidak akan membantu [rupiah kembali menguat]," kata Elias Hadad, Senior Market Strategist di Brown Brothers Harriman di London.
Saat ini, tekanan jual masih berlangsung di pasar surat utang meski sudah lebih termoderasi. Yield SUN 2Y masih bertahan di kisaran 7,017%, sementara tenor 10Y saat ini ada di 7,053%. Kurva imbal hasil yang mendatar itu memberi sinyal pasar sudah bersiap-siap bila bunga acuan naik.
Sinyal juga datang dari lelang sekuritas tenor pendek Bank Indonesia. Jumat pekan lalu, dalam lelang Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yield untuk tenor 6 bulan menyentuh 6,81% dan 12 bulan di 6,94%, tertinggi sejak Oktober lalu ketika BI rate naik ke 6%.
Lebih dari itu, sokongan bagi rupiah apabila terjadi guncangan pelemahan lagi juga semakin minim menyusul anjloknya nilai cadangan devisa hingga US$6 miliar hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini. Bulan lalu, nilai cadev bahkan turun hingga US$3,6 miliar.
Rupiah sudah melemah 3,4% selama April saja dan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia. Dalam pernyataan sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo pernah melontarkan petunjuk bahwa BI rate perlu naik bila rupiah sampai terperosok lebih dari 2% dalam sebulan.
"[Menguatkan rupiah] melalui intervensi ke pasar valas secara terus menerus, meminjam istilah Anwar Nasution [mantan Deputi Gubernur BI] seperti menuangkan air pada pasir," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas yang memprediksi BI menaikkan 25 bps pada hari Rabu nanti.
Berkaca dari histori pergerakan BI rate selama ini, di bawah kepemimpinan Perry, kenaikan bunga acuan hampir selalu untuk 'menolong' rupiah alih-alih demi menjinakkan inflasi, menurut ekonom Bloomberg LP Tamara M. Henderson yang memprediksi akan ada kenaikan 25 bps untuk BI rate.
Rupiah bukan hanya menghadapi risiko yang muncul dari arah bunga global, melainkan juga dari tensi geopolitik di Timur Tengah yang meningkat dan bisa mengerek inflasi harga energi akibat lonjakan harga minyak dunia ditambah kenaikan biaya logistik global.
"Kami tidak melihat dampak yang signifikan pada perekonomian bila BI rate naik 25 bps. Proyeksi kami, ekonomi Indonesia tahun ini masih tumbuh 5%," kata Tamara, sembari menambahkan menahan BI rate masih mungkin hanya bila rupiah mampu kembali ke kisaran sebelum kejatuhannya.
(rui)