Membeli emas sebagai sebuah investasi yang lazim terjadi di Indonesia. Anggi mengaku, pilihan ini diambil untuk melindungi dari kenaikan laju inflasi.
“Kalau bahasa saya si beli LM atau perhiasan emas lebih kepada jagain uang. Dari pada uangnya habis gak jelas, ya beliin LM atau perhiasan saja. Yang nanti kalau ada kebutuhan, cepet likuidnya,” kata dia.
Dalam tataran global, selain dipengaruhi oleh harga emas dunia, laju emas Antam juga berkaca dari ketidakpastian ekonomi global. Perang Rusia-Ukraina, atau sebelumnya pandemi Covid-19, menimbulkan kekhawatiran investor dunia.
Ditambah, kekhawatiran akan rapuhnya industri perbankan yang tercermin dari kejatuhan tiga bank di Amerika Serikat (AS), Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate, dan Signature Bank, membuat investor memilih menempatkan aset ke instrumen yang aman (safe haven), salah satunya emas.
Ini masih ditambah dengan serangkaian kebijakan suku bunga Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed), yang diprediksi pelaku pasar akan memperlambat laju pengetatan moneter. Atas kebijakan ini, lazimnya komoditas emas merespon dengan kenaikan harga.
Rutin investasi emas atau pegang cash?
Rizky Mahesar (38), yang kerap berinvestasi emas mengamati, kenaikan harga emas Antam paling terasa usai meletuskan perang Rusia-Ukraina. Sejak kenaikan signifikan itu, Rizky memilih untuk menahan pembelian emas.
“Saya rutin membeli LM hampir setiap bulannya, terhitung sejak rata-rata harga per gramnya masih di kisaran Rp 700.000, untuk investasi jangka panjang atau lebih dari 10 tahun. [namun] sejak perang Rusia x Ukraina meletus, harga LM terdampak naik dan sejak saat itu pula saya berhenti membeli LM. Apalagi saat ini harga LM tembus lebih dari Rp 1 juta/gramnya,” papar Rizky.
Keputusan ini, lanjut Rizky, bukan berarti dia menjadi anti terhadap investasi emas. Dia masih berpandangan emas jadi investasi yang sudah terbukti sejak dulu. “Namun dalam periode belakangan ini belum lagi menjadi pilihan investasi rutin karena lonjakan harga yang signifikan,” jelas dia.
Di masa sekarang, Rizky memilih hanya menyimpan dana di tabungan yang pasti lebih liquid sembari memantau kondisi ekonomi.
“Saya memilih tetap berada pada tabungan biasa agar selalu likuid. Tujuannya adalah sebagai antisipasi dari belum pulihnya kondisi ekonomi, sehingga cash yang bisa kapan saja ditarik,” papar dia.
Lain halnya dengan Desi Adityarini (31), yang tetap yakin berinvestasi emas. Namun Desi membagi menjadi dua bentuk, LM dan perhiasan.
Keputusan investasi emas ia dapat dari orang tua. Desi diajarkan memilih emas, dibandingkan deposito ataupun reksa dana.
“Dalam dua tahun terakhir saya investasi mix. Jadi logam mulia cuma beli yang kecil-kecil, maksimal dua gram. Sisanya juga perhiasan yang kecil-kecil minimal cicin satu gram, [pilih emas] karena ajaran orang tua ke saya dan adik. Jadi saya kasih uang ke orang tua untuk kemudian dibelikan logam mulia sama perhiasan,” kata dia.
Likuiditas juga jadi faktor penentu Desi memilih emas sebagai investasi. Saat membutuhkan dana mendesak emas bisa langsung ‘dicairkan’.
“Kalau kepepet apa-apa cepet jual [emas] atau gadainya, ya kan. Apalagi kalau ada keluarga dan temen yang butuh dana darurat,” pungkas Desi.
(wep)