Bloomberg Technoz, Jakarta - Lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) alias sukuk negara dilangsungkan hari ini, Selasa (23/4/2024) dengan target indikatif Rp11 triliun.
Lelang sukuk ini akan menjadi lelang pertama yang digelar oleh pemerintah pasca libur panjang Lebaran sekaligus menjadi lelang perdana di kala nilai tukar sudah jatuh menjebol level terlemah dalam empat tahun.
Bukan hanya itu, kondisi pasar surat utang domestik saat ini juga masih berada di bawah tekanan jual di mana yield atau imbal hasil tenor 10Y sudah di atas 7,06%, level yang terakhir terlihat pada Oktober lalu kala Bank Indonesia mengejutkan pasar dengan kenaikan BI rate. Sementara tenor pendek 2Y yang sensitif terhadap pergerakan bunga acuan, saat ini bahkan sudah menyentuh 7,02%, memberi sinyal bahwa pelaku pasar mulai pasang kuda-kuda untuk kenaikan bunga acuan.
Berkaca dari gelar lelang sukuk terakhir yang digelar pada 19 Maret, animo yang masuk mencapai Rp21,06 triliun. Kala itu tingkat imbal hasil masih jauh lebih rendah di kisaran 6,62%. Meski kini yield sudah lebih tinggi, animo pelaku pasar dalam lelang hari ini kemungkinan masih akan tertahan sejurus dengan antisipasi investor menunggu kepastian BI rate pada Rabu siang nanti. Permintaan dalam lelang berpotensi anjlok di bawah Rp20 triliun.
Konsensus ekonom yang disurvei oleh Bloomberg memperkirakan Bank Indonesia akan menahan lagi BI rate di 6%. Namun, pasar sejatinya terbelah di mana 11 dari 39 ekonom yang disurvei memprediksi BI akan mengerek bunga acuan 25 bps ke 6,25% untuk memberi dukungan pada rupiah.
Kenaikan BI rate akan membawa yield surat utang lebih tinggi lagi bisa ke kisaran 7,2%-7,3% di mana level itu dinilai sebagai peluang beli yang menarik bagi investor.
Laporan BI mencatat, sepanjang tahun ini sampai data setelmen 18 April lalu, pemodal asing telah membukukan posisi jual bersih di surat berharga negara sebesar Rp38,66 triliun di mana pada tiga hari pertama pekan lalu saja asing net sell SBN hingga Rp9,8 triliun.
Obligasi korporasi
Tingkat imbal hasil obligasi korporasi yang diterbitkan oleh perusahaan Indonesia dalam denominasi dolar AS semakin melejit akibat kejatuhan nilai tukar rupiah yang memicu kekhawatiran akan lonjakan beban pembayaran utang perusahaan dalam valas.
Selisih yield meningkat lebih dari tiga basis poin pekan lalu, kenaikan terbesar dalam sebulan terakhir dan pada Senin kemarin naik lagi dua basis poin, menurut indeks Bloomberg.
Obligasi dolar AS yang diterbitkan Medco Platinum Road yang jatuh tempo Januari 2025, melebar yield-nya lebih dari 600 basis poin pada Senin kemarin.
Sementara obligasi dolar AS milik APL Realty Holding yang jatuh tempo Juni lalu, melonjak imbal hasilnya lebih dari 1.000 basis poin pada saat yang sama.
"Tingginya volatilitas suku bunga dan pelemahan nilai tukar rupiah berarti risiko yang lebih besar dari kebijakan moneter yang lebih ketat dari BI dan itu membebani kredit Indonesia," kata Ahli Strategi DBS Bank di Singapura Wei Liang Chang, dilansir dari Bloomberg News, Selasa (23/4/2024).
Chang melihat ketidakpastian fiskal sebagai risiko yang lebih besar dibandingkan faktor eksternal pasar global.
Pada obligasi swasta dengan peringkat lebih tinggi seperti global bond milik Perusahaan Gas Negara dan Pertamina, juga mencatat tren serupa. Premi obligasi yang jatuh tempo pada 2024 milik PGN naik dua kali lipat ke level terlebar sejak 2020.
(rui)