Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Bank Indonesia akan menggelar rapat dewan gubernur (RDG) bulanan pada Rabu-Kamis (23-24 Maret 2024) mendatang. Salah satu kebijakan yang ditunggu-tunggu para pelaku pasar ialah terkait kebijakan suku bunga acuan atau BI Rate bank sentral yang mempengaruhi berbagai lini ekonomi nasional. 

Lalu, bagaimana tanggapan bank besar seperti PT Bank Central Asia Tbk (BCA) jika BI menaikkan BI Rate?

Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan pelaku ekonomi harus melihat kebijakan BI Rate dari beberapa sudut. Menurut dia, perusahaan memiliki Asset Liability Committee (ALCO) yang memantau kecukupan dana perbankan, baik tabungan maupun deposito.

Adapula pengukuran likuiditas melalui rasio pinjaman terhadap simpanan perbankan atau loan to deposit ratio (LDR).

"LDR BCA masih 71%, kalau di market sudah di atas 80%, bahkan ada bank besar melebihi 82%. Artinya ketersediaan likuiditasnya betul-betul jeli untuk dimanfaatkan, khusus BCA kami melihat kebutuhan kami," ujar Jahja, Senin (22/4/2024).

Menurut dia, jika likuiditas baik, maka perusahaan tidak semata-mata melihat suku bunga acuan untuk menetapkan kebijakan perbankan. Artinya, jika suku bunga acuan naik, perusahaan belum tentu menaikkan bunga kredit atau bunga simpanan juga.

"Ini kan bencmark, harus melihat kondisi masing-masing. Kalau kami rasakan masih cukup, kita tidak lakukan penyesuaian, fleksibilitas itu tergantung bank masing-masing," kata Jahja.

Sebaliknya, jika likuiditas tidak memadai saat kredit tumbuh tinggi, maka otomatis perbankan membutuhkan dana pihak ketiga (DPK). "Karena setiap kenaikan DPK biaya juga bagi bank, untuk itu, kami tidak mengatakan akan serta merta naik langsung," kata Jahja.

"Kalau BI Rate naik apakah serta merta pinjaman dinaikkan? Tidak juga. Kalau memang kenaikan BI Rate menyebabkan DPK naik, maka mau tidak mau pinjaman dinaikkan," ujar Jahja.

(lav)

No more pages