Kemudian, Enny juga mempertimbangkan bahwa Pj kepala daerah harus netral karena sebagian besar Pj. kepala daerah adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), maka harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014).
Dengan demikian, dalam konteks jabatan Pj. kepala daerah sebagai ASN, hal yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya sikap netral yang harus dimiliki dan dijalankan oleh Pj. kepala daerah dalam menjalankan kewenangannya, terlebih lagi pada masa kampanye Pemilu. Ketentuan hukum terkait pengangkatan, syarat, serta tugas, wewenang, dan kewajiban yang melekat pada Pj kepala daerah sudah seharusnya dipatuhi dan dijalankan.
Jika kemudian terdapat adanya dugaan Pj. kepala daerah yang menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu, maka Pj. kepala daerah tersebut telah melanggar hukum dan konstitusi dalam mewujudkan Pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas.
Selanjutnya, beberapa daerah yang didalikan adanya ketidaknetralan Pj. kepala daerah, termasuk di dalamnya terkait dengan ketidaknetralan pejabat dan aparat negara di Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.
Kemudian Enny menimbang dalil pemohon terkait telah terjadi politisasi pemberian bansos selama Pilpres 2024 yang bertujuan untuk memenangkan paslon nomor urut 02.
Enny menambahkan, meskipun secara normatif presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk terlibat dalam kampanye dan tidak ada ketentuan larangan bagi presiden memberikan bansos. Namun, dengan adanya pemberian bansos menjelang Pemilu dan di masa kampanye, maka dalam batas penalaran yang wajar, hal tersebut tentu berdampak pada para peserta pemilihan karena adanya ketidaksetaraan.
Di antara faktor yang mendukung keadaan ini karena adanya celah hukum yang ada pada arah Pemilu yang tidak jelas, yang kemudian dimanfaatkan.
Pada titik inilah, tambah Enny, etika memainkan peran penting, agar tidak memanfaatkan celah kekosongan aturan hukum. Sebab, dampak dukungan yang ditampilkan oleh pemberi bansos yang berkaitan erat dengan salah satu peserta pemilihan akan menyebabkan ketidaksetaraan peserta dalam kontestasi perebutan suara rakyat.
Padahal, salah satu bentuk perwujudan prinsip adil dalam Pemilu adalah adanya upaya agar para peserta Pemilu berada pada posisi yang setara. Terlebih, terdapat indikasi dukungan yang jelas terhadap satu pasangan calon maka hal demikian dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak netral dan memberikan keuntungan signifikan bagi pasangan tersebut.
Hal ini menjadi semakin rumit, mengingat sulitnya memisahkan antara fasilitas negara dan kepentingan politik personal. Dalam konteks ini, penting kembali diingat maksud ditetapkannya Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, di era awal reformasi sebagaimana telah diuraikan di atas, yang harus menjadi arahan, pedoman, panduan mewujudkan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Oleh karena itu, kata Enny, sekalipun tidak ada larangan pemberian bansos dengan menggunakan DOP, namun sejalan dengan makna "Etika Kehidupan Berbangsa” penting untuk dilaksanakan secara bijaksana, demi menjamin Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, tegas Enny, dalil pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, tidak sebagaimana yang dimohonkan pemohon dalam petitumnya.
“Oleh karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah yang telah dipertimbangkan di atas, maka untuk menjamin terselenggaranya Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut di atas,” tegas Enny.
(mfd/ros)