Ia memprediksi, rupiah berpotensi melemah sampai ke level psikologis baru di Rp16.500/US$ seiring dengan mundurnya prediksi pivot The Fed dari Juni menjadi September.
Sementara analis lain menilai ada potensi rupiah semakin jatuh ke Rp17.000/US$ pada September nanti akibat molornya prediksi penurunan bunga The Fed. Seperti diketahui, data inflasi AS yang ternyata masih memperlihatkan penguatan, telah memundurkan ekspektasi penurunan Fed fund rate dari semula Juni menjadi September. Bahkan, kini mulai ada wacana kenaikan bunga The Fed lagi bila inflasi negeri itu kembali bangkit.
"Pelemahan menuju Rp17.000/US$ akan terjadi bertahap, tidak serta merta. Namun, tanpa kenaikan BI rate, tidak akan membantu [rupiah kembali menguat]," kata Elias Hadad, Senior Market Strategist di Brown Brothers Harriman di London, seperti dilansir dari Bloomberg News.
Mengacu pada lelang instrumen tenor pendek Sertifikat Rupiah BI terakhir, sinyal kenaikan BI rate itu semakin kentara.
Yield atau imbal hasil yang diberikan untuk SRBI tenor 6 bulan menyentuh level rekor tertinggi di 6,81% pada lelang terakhir Jumat pekan lalu. Sedangkan SRBI 12 bulan mencatat yield di 6,94%, tertinggi sejak BI rate naik pada Oktober lalu.
Bunga SRBI sering dilihat sebagai salah satu proksi tingkat bunga acuan. Dalam lelang terakhir pekan lalu, meski BI memberikan premi yang tinggi, animo investor cenderung lesu, hanya membukukan permintaan masuk Rp7,2 triliun, dari lelang sebelumnya sebelum Lebaran yang mencatat incoming bids Rp14,9 triliun.
Ekspektasi inflasi masih rendah
Namun, tidak semua ekonom dan pelaku pasar sependapat. Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk David Sumual masih mempertahankan prediksinya bahwa BI akan menahan lagi bunga acuan di 6% dalam rapat 24 April nanti. Alasannya, "Sejauh ini ekspektasi inflasi masih dalam rentang yang sama," katanya.
Inflasi Maret tercatat terakselerasi ke 3,05%, tertinggi sejak Agustus 2023 terutama karena lonjakan inflasi harga pangan karena peningkatan permintaan menyusul perayaan Ramadan dan Lebaran. Begitu musim perayaan berlalu, inflasi berpeluang kembali melandai.
Hasil survei terbaru Bank Indonesia yang dirilis pekan lalu menyebutkan, ekspektasi inflasi ke depan yaitu pada Mei tercatat turun tercermin dari Indeks Ekspektasi Harga yang melandai dari 161 menjadi 147,8.
"Prakiraan penurunan Indeks Ekspektasi Harga pada Mei 2024 terutama seiring dengan normalisasi aktivitas masyarakat pasca perayaan Idulfitri," jelas BI.
Sementara ekspektasi harga pada enam bulan mendatang atau pada Agustus tercatat naik jadi 164,9 dari 144,4.
Meski masih mempertahankan prediksi BI rate di tengah tekanan yang dialami oleh rupiah sejauh ini, David tidak menutup potensi kenaikan BI rate ke depan terutama bila The Fed semakin hawkish.
"Ke depan bisa saja kenaikan suku bunga BI rate bisa jadi salah satu opsi, kalau dalam beberapa waktu ke depan rupiah masih dalam tekanan dan The Fed semakin hawkish. Sejauh ini, ekspektasi inflasi masih dalam rentang yang sama [sehingga tidak perlu respon kenaikan BI rate]," jelas David.
Yang pasti menaikkan lagi bunga acuan setelah menerapkan pengetatan moneter sejak Agustus 2022 akan membawa kinerja pertumbuhan ekonomi semakin lesu.
Belanja rumah tangga telah berkurang sepanjang tahun lalu, hanya tumbuh 4,82%. Inflasi inti yang menjadi salah satu ukuran tingkat permintaan (daya beli) dalam perekonomian, semakin melemah bahkan sempat menyentuh level terendah dalam dua tahun seperti di masa pandemi masih belum mereda.
Sementara Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan masih naik sampai Januari lalu ke kisaran 8,83%, berdasarkan asesmen terakhir Bank Indonesia pada Maret.
Kenaikan SBDK itu karena peningkatan Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) atau cost of fund yang melonjak 20 basis poin menjadi 3,67% akibat normalisasi kondisi likuiditas pascapandemi dan efek tunda dari kenaikan BI Rate pada Oktober lalu.
Ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson menilai, kenaikan BI rate 25 bps, belum akan membawa dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi RI tahun ini masih akan mampu tumbuh 5%, seperti prediksi semula, di mana itu lebih lambat dibanding capaian tahun lalu 5,05%.
Selain itu, berkaca pada histori selama ini, keputusan BI mengerek rupiah adalah hampir selalu untuk 'menolong' rupiah, bukan untuk mengantisipasi lonjakan inflasi, menurut Tamara.
(rui)