MK juga tidak mendapatkan bukti adanya korelasi antara bentuk cawe-cawe yang dimaksud dengan potensi perolehan suara salah satu paslon presiden dan wapres pada Pemilu 2024.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, MK menilai dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum,” kata Hakim Daniel.
Terkait pemohon yang mendalilkan Presiden Jokowi tidak netral juga tidak terbukti. Dalil pemohon terkait Jokowi yang melakukan konsolidasi dengan partai-partai koalisi pada 2 Mei 2023 di Istana Negara karena tidak melibatkan Ketua Umum Nasdem yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres.
Selain itu pada 16 September 2023 Jokowi menekan parpol dengan menggunakan data dari intelijen (BIN, BAIS, dan Intelijen Polri) mengenai surveillance parpol. Ketidaknetralan Jokowi juga disebut saat bertemu dengan ketua umum partai pendukung paslon 02 seperti Ketum Gerindra Prabowo, Ketum PAN Zulkifli Hasan, serta Ketum Golkar Airlangga Hartarto.
“Bahwa terhadap dalil pemohon demikian, termohon, pihak terkait, dan Bawaslu tidak memberikan tanggapan,” ujar Daniel.
Setelah mencermati dalil dan alat bukti yang diajukan pemohon mengenai penggunaan data intelijen untuk menekan parpol, MK menilai pemohon tidak menguraikan dan membuktikan lebih lanjut bagaimana tindakan tersebut dilakukan.
Demikian pula terkait pertemuan Jokowi terhadap sejumlah ketum parpol pendukung paslon 02 MK menilai tidak terbukti dan membawa dampak hasil pemilu Pilpres 2024.
“MK tidak mendapatkan keyakinan dan kebenaran dalil pemohon a quo, sebab pemohon tidak membuktikan lebih lanjut dalam persidangan baik secara substansi dari pertemuan dimaksud yang dapat dinilai sebagai tekanan,” tambah Daniel.
Seandainya pun informasi intelijen dari BIN, BAIS, dan Intelijen Polri tersebut benar, terkait hal itu, tambah Daniel, bukan merupakan kewenangan MK untuk menilainya dalam perkara PHPU a quo.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, MK berpendapat dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tegasnya.
(mfd/ain)