Menaikkan BI Rate pada akhirnya memang seperti obat pahit bagi perekonomian. Ekspansi dunia usaha bisa tertahan karena suku bunga pinjaman yang makin mahal.
Rekrutmen tenaga kerja bisa terhenti, lapangan kerja semakin sulit didapatkan. Daya beli masyarakat juga bisa semakin melemah karena pendapatan yang stagnan bahkan berkurang.
Namun, lagi-lagi pilihan sepertinya tidak cukup banyak bagi bank sentral dengan saat ini prospek suku bunga Federal Reserve diprediksi hanya akan turun dua kali tahun ini dari perkiraan semula sampai empat kali, dan kemungkinan baru dimulai pada September nanti. Artinya, dengan asumsi BI rate tetap di 6% seperti saat ini, jaraknya hanya 50 bps dengan Fed fund rate. Imbas langsung, selisih imbal hasil antara surat utang RI dengan Amerika jadi kian sempit, saat ini hanya sebesar 232 bps.
Dibandingkan yield spread di pasar negara berkembang lain, selisih imbal hasil RI terbilang rendah. India misalnya, mencatat selisih yield sekitar 257 bps saat ini. Imbal hasil investasi RI juga masih kalah bila dibanding emerging market lain di Amerika Latin seperti Kolombia, Meksiko sampai Peru, yang memiliki yield spread jauh lebih lebar masing-masing sebesar 617 bps, 518 bps dan 287 bps.
Selisih imbal hasil investasi yang sempit antara Indonesia dan AS membuat berinvestasi di aset-aset pasar keuangan RI menjadi kurang menarik mengingat perbedaan peringkat kredit dengan Negeri Paman Sam. Sederhananya, berinvestasi di surat utang AS yang saat ini memberikan yield 4,66% lebih menarik bagi investor karena peringkat kredit AS jauh di atas Indonesia.
Konsekuensinya, asing semakin banyak yang melepas investasi mereka di Indonesia dan rupiah terdampak semakin melemah. Inilah yang terlihat pada pekan lalu. Pemodal asing menjual surat utang hampir Rp10 triliun hanya dalam tiga hari perdagangan saja, 16-18 April, langsung menyeret nilai rupiah terperosok menjebol level terlemah sejak April 2020.
Tekanan juga datang dari hengkangnya investor asing dari pasar saham dan Sekuritas Rupiah BI. Total selama tiga hari itu, asing mencatat nilai penjualan bersih lebih dari Rp21 triliun.
Kenaikan BI Rate akan mengerek yield semakin tinggi dari posisi saat ini. Tenor 10Y mungkin akan mencapai 7,2%-7,3%.
Di level itu, mungkin surat berharga negara Indonesia akan kembali mengundang aksi beli dari investor. Kembalinya investor asing masuk ke pasar domestik akan melonggarkan suplai dolar AS di pasar.
Rupiah mungkin belum akan serta merta langsung menguat banyak, akan tetapi perlahan dana asing yang kembali masuk akan memberikan kepercayaan lebih besar bagi para pelaku pasar untuk kembali memborong aset-aset rupiah baik di saham maupun surat utang.
Bisa Jebol Rp17.000/US$
Beberapa bank asing memprediksi, nilai rupiah bisa terperosok hingga menyentuh Rp17.000/US$ pada September nanti terutama bila prediksi penurunan bunga The Fed kembali molor.
"Pelemahan menuju Rp17.000/US$ akan terjadi bertahap, tidak serta merta. Namun, tanpa kenaikan BI rate, tidak akan membantu [rupiah kembali menguat]," kata Elias Hadad, Senior Market Strategist di Brown Brothers Harriman di London, seperti dilansir dari Bloomberg News.
Penguatan dolar AS yang masih belum terjeda, membutuhkan respon kebijakan yang lebih kuat. Pasalnya, strategi penguatan rupiah melalui jurus lain seperti intervensi langsung ke pasar atau melalui operasi moneter dengan tiga instrumen baru seperti SRBI, SVBI dan SUVBI, juga kebijakan mandatori penempatan devisa hasil ekspor, sejauh ini belum memadai. Nyatanya, rupiah tetap terkapar jatuh.
"Pelemahan rupiah akan terus terjadi bila BI kembali menahan bunga acuan pekan ini. Pengetatan lebih lanjut akan menjadi tindakan terbaik," kata Brendan McKenna, Ahli Strategi Mata Uang di Wells Fargo. Ia memprediksi, rupiah berpotensi melemah sampai ke level psikologis baru di Rp16.500/US$ seiring dengan mundurnya prediksi pivot The Fed dari Juni menjadi September.
BI akan mengumumkan kebijakan bunga acuan pada 24 April nanti. Para ekonom dan pelaku pasar saat ini masih terbelah memprediksi BI Rate. Hasil survei terhadap 39 ekonom oleh Bloomberg sampai siang hari ini, menghasilkan konsensus 'hold'. BI diperkirakan masih akan menahan lagi BI rate di 6%. Namun, 11 dari 39 ekonom memperkirakan BI akan menaikkan ke 6,25%.
"Gubernur BI Perry Warjiyo pernah hampir memberi jaminan akan menaikkan BI rate bila rupiah melemah lebih dari 2% dalam sebulan. April ini, rupiah sudah terdepresiasi 3,4% dan akan menjadi valuta terburuk kinerjanya di Asia. [Menguatkan rupiah] melalui intervensi ke pasar valas secara terus menerus, meminjam istilah Anwar Nasution [mantan Deputi Gubernur BI] seperti menuangkan air pada pasir," kata Satria Sambijantoro, Head of Equity Research Bahana Sekuritas yang memprediksi BI menaikkan 25 bps pada hari Rabu nanti.
(rui/tim)