“Keterbatasan ini dapat menyebabkan permasalahan distribusi, sehingga di daerah-daerah remote, harga gula melonjak lebih tajam,” terangnya.
Pengaruh Global
Lebih lanjut, Yadi menggarisbawahi isu kelangkaan stok dan mahalnya harga gula di dalam negeri lebih dipengaruhi oleh faktor global yang menjadi penyebab keterlambatan impor.
“Karena harga minyak tinggi dan nilai rupiah yang melemah [terhadap dolar Amerika Serikat/AS] dan juga harga raw sugar [gula mentah] dunia masih di kisaran US$ cent 20/lb, hampir dua kalinya harga tiga tahun yang lalu,” ujar Yadi.
Bagaimanapun, Yadi berpendapat kondisi geopolitik internasional serta pelemahan rupiah sebenarnya dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memacu produksi di dalam negeri.
“Harga gula yang tinggi akan memotivasi pelaku produksi untuk segera memperluas lahan dan meningkatkan produktivitasnya,” ujarnya.
Untuk diketahui, Badan Pangan Nasional (Bapanas) baru-baru ini menaikkan HAP gula konsumsi menjadi Rp17.500/kg dari sebelumnya Rp16.000/kg untuk harga jual di tingkat ritel atau konsumen.
Khusus untuk daerah/wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan wilayah 3TP (Tertinggal, Terluar, Terpencil, dan Perbatasan) harga gula konsumsi di tingkat ritel atau konsumen ditetapkan senilai Rp18.500/kg.
“Berdasarkan hal tersebut di atas, Saudara [pedagang] dapat mengimplementasikan relaksasi atau penyesuaian harga gula dimaksud berlaku mulai 5 April 2024 sampai dengan 31 Mei 2024 dan selanjutnya akan dilakukan evaluasi secara berkala,” tulis Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan I Gusti Ketut Astawa dalam surat edaran Bapanas tentang Penyesuaian Harga Gula Konsumsi di Tingkat Konsumen itu.
Di sisi lain, data Panel Harga Bapanas sampai dengan pagi ini pukul 9:50 WIB menunjukkan rerata nasional harga gula konsumsi di tingkat eceran menembus Rp18.200/kg atau masih naik hampir 1% dari pekan lalu, serta masih jauh di atas HAP yang baru.
Alokasi Impor
Untuk diketahui, pemerintah pada tahun ini sejatinya sudah menetapkan alokasi impor gula sebanyak 5,4 juta ton. Total alokasi impor itu terdiri dari gula konsumsi sebanyak 708.609 ton setara GKP dan pemenuhan bahan baku gula industri sejumlah 4.772.698 ton.
“Kemarin diputuskan sudah dari Pak Menko [Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto], jadi ini bukan saya yang memutuskan. Gula rafinasi itu ada di surat pak Menko berdasarkan ratas, gula konsumsi itu kira-kira 700.000 ton,” ujar Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam agenda Konferensi Pers Capaian Kinerja 2023 dan Outlook Perdagangan 2024, di Kantor Kemendag, awal tahun.
Dimintai konfirmasi secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Budi Santoso menjelaskan jumlah impor gula konsumsi memang mengalami penurunan dari kuota 900.000 ton yang ditetapkan pada 2023. Dia membantah penurunan itu disebabkan karena realisasi impor gula pada 2023 yang hanya mencapai 56%.
Menurut Budi, alokasi impor tersebut sesuai dengan prediksi yang dibutuhkan oleh Indonesia. Neraca komoditas pun selalu bisa dievaluasi tiap 3 bulan atau bila diperlukan. Dengan demikian, alokasi tersebut bisa berubah seiring dengan dinamika kebutuhan komoditas gula di Indonesia.
“Jadi tidak harus langsung sekian ribu [ditetapkan]. Bisa dikurangi atau ditambahkan. Misalkan perlu tambah, bisa ditambahkan. Namun, sementara ini prediksi kita cukup segitu,” ujar dia.
Adapun, lanjut Budi, realisasi impor gula konsumsi pada 2023 adalah hanya 56% dari alokasi sebanyak 900.00on. Budi membantah bahwa realisasi yang kecil terjadi karena harga dunia internasional yang tinggi.
“Harga tinggi bukan karena itu, tetapi karena harga internasional. Justru karena harga tinggi itu impor hati-hati. Harga tinggi, impor menunggu stabil dahulu,” kata dia.
Di lain sisi, sebelumnya Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyinggung importir yang tidak melaksanakan penugasan impor gula konsumsi karena takut mengalami kerugian imbas harga yang melambung tinggi.
“Secepatnya yang pegang kuota impor harus merealisasikan importasi, termasuk BUMN seperti RNI dan PTPN, [perusahaan] swasta juga sama. Hanya melakukan importasi ketika untung, maka kalau harga di luar lebih tinggi, mereka tidak melakukan importasi. Tidak begitu caranya. Importasi bukan hanya harga, tetapi pemenuhan stok,” ujar Arief dalam peluncuran Gerakan Pangan Murah (GPM) serentak di Gedung Bapanas, medio Oktober.
(wdh)